Thursday, March 29, 2007

Perlawanan Perempuan > Persoalan Teori dan Praktik Feminis

Persoalan Teori dan Praktik Feminis

Tujuan pemberdayaan perempuan memperlihatkan kepada kalangan feminis mengenai kebutuhan untuk menjawab berbagai bentuk penindasan, namun tidak dijelaskan bagaimana caranya semua itu harus diselesaikan. Terdapat berbagai persoalan untuk menghubungkan antara teori dan praktik feminis. Pertama, pembagian material di antara kita, bahwa perempuan membangun pandangan kebebasannya dari titik-pijakan yang beragam. Kita tak hanya memiliki titik-pijakan sebagai perempuan, namun juga sebagai anggota klas masyarakat yang berbeda-beda. Perempuan petani, perempuan kulit hitam, perempuan klas pekerja kulit hitam, perempuan lesbi klas menengah, memiliki identitas kepentingan tertentu dalam pembebasannya. Sepanjang perempuan memiliki titik-pijakan klas yang saling berbeda dalam isu-isu yang menentukan itu, dan tetap terkotak dalam masalah ras, budaya, seksualitas, maka tidak akan ada kesepakatan di atas mana kebebasan tersebut hendak didirikan.

Kedua, konsep kebebasan juga sangat bergantung pada apa pandangan kita mengenai hubungan di antara berbagai sumber kekuasaan yang ada, seperti antara moda produksi dan sistem seks atau gender yang patriarkhis. Perkembangan feminisme menunjukkan bahwa perempuan tidak bisa dijadikan satu kategori tersendiri, dengan demikian saling keterkaitan sumber pembagian di kalangan perempuan harus diidentifikasi. Akan tetapi, feminisme juga memperlihatkan kesulitan menyatukan kaitan antara berbagai sumber kekuasaan yang ada. Kita perlu mengidentifikasi dan memperjelas ideologi yang mengesahkan berbagai bentuk kekuasaan itu. Cara bagaimana moda produksi bertaut dengan sistem patriarkhi dan dominasi rasial adalah sangat rumit dan begitu dimistifikasi. Sepanjang keterkaitan tersebut mengacaukan, maka sulit bagi perempuan untuk mengorganisir prioritas politik mereka.

Ketiga, terjadi perpecahan di kalangan gerakan feminis mengenai apakah perempuan dan laki-laki dalam suatu masyarakat yang ter-transformasi masih secara mendasar berbeda satu sama lain. Perpecahan itu berakar pada ketidaksetujuan atas makna sosial dan politis hakikat biologis kita sebagai perempuan dan laki-laki. Hal ini bukan suatu persoalan teoritis sederhana di mana kita sepakat untuk berbeda. Pertanyaan apakah perempuan dan laki-laki secara mendasar saling berbeda hakikatnya menimbulkan masalah praktis bagaimana hubungan antara perempuan dan laki-laki dapat diubah. Meskipun kalangan reduksionis biologis secara mendalam mengeritik kalangan feminisme, namun persoalan perbedaan biologis terus ditolak.

Persoalan titik-pijakan

Kalangan feminis politis akan mengalami hambatan oleh keterbatasan pengalaman perempuan dan ideologi patriarkhis, dan oleh sikap perempuan yang penuh perhatian dan perasaan bersalah di mana mereka hidup di dalamnya. Perempuan dengan berbagai perbedaan pengalamannya tidak akan memberikan keseluruhan aspek transformasi prioritas kesetaraan, sehingga mustahil mengatasi secara sempurna keterbatasan titik-pijakan klas dan rasnya. Manakala titik-pijakan kita sungguh membatasi visi kebebasan kita, maka hal itu tidak berarti bahwa kita tidak memiliki visi yang berguna.

Konsekuensi membangun aliansi antar perempuan, bagaimanapun, adalah menghadapi penindasan di berbagai front, artinya perjuangan menentang perempuan, misalnya melawan sayap-kanan perempuan barat yang bersekutu dengan laki-laki, yang mencoba mendorong perempuan kembali ke keluarga dan terpinggirkan dari kehidupan publik, kecuali sebagai tenaga kerja murah. Juga menentang fundamentalisme Islam dan lainnya yang telah merumuskan versi kebebasan dalam rangka melayani laki-laki dan tuhan. Kalangan feminis yang telah merumuskan tujuan politiknya bagi perempuan telah menempatkan dirinya dengan mengatakan kepada mereka apa yang tak ingin mereka dengar, dan melontarkan penghakiman atas rumusan pengalaman dan kebutuhan perempuan.

Sebagai alternatif, membiarkan perempuan merumuskan tujuan politiknya terlepas dari titik-pijakan mereka, sudah tentu, meremehkan hal umum politik feminis. Apabila berbagai kelompok perempuan yang berbeda merumuskan versi kebebasan mereka tanpa mengacu satu sama lain, maka tidak ada evaluasi feminis terhadap ketidaklengkapan visi kebebasan yang bisa dilakukan.

Kalangan feminis menekankan pentingnya budaya bisu perempuan untuk mengungkapkan pengalamannya di mana budaya patriarkhi mengabaikan atau merendahkan mereka. Akan tetapi, perempuan hendaknya menilai pengalaman mereka tanpa menyadari dari mana gagasan-gagasan yang mereka yakini dan nilai itu berasal. Menyerap istilah Gramsci, laki-laki mendominasi perempuan karena memimpin dan mendominasi. Kehendak perempuan untuk menikahi laki-laki, tentu saja wajar dilakukan, dan pada titik tertentu mencapai kesepakatan di dalam perkawinan. Mereka dapat meraih kepuasan sebagai ibu, yang menentukan kendali atas anak-anaknya dan ekonomi rumah tangga serta posisi pasti di tengah masyarakat sebagai perempuan menikah.

Patriarkhi, dengan demikian, tidak selalu menjadi keseluruhan pengalaman yang buruk bagi perempuan. Hal ini dipandang menjadi buruk bagi perempuan ketika hubungan kuasa antara laki-laki dan perempuan nyata mendominasi, yaitu ketika perempuan berhadapan secara kritis dengan patriarkhi dengan berdiri di belakang laki-laki dan hanya melihat keseluruhan sistem bekerja dan untuk kepentingan siapa. Itu terlihat ketika perempuan berpikir secara menyeluruh dan kritis mengenai organisasi masyarakat, yang memperlihatkan mereka bagaimana patriarkhi menghambat kehidupannya dan memecahbelah satu sama lain, dan mereka bisa memilih untuk melawannya. Pemahaman kritis memang sulit dikembangkan secara kolektif ketika perempuan secara personal sukses di dalam kehidupan publik, atau manakala perempuan disingkirkan dari kehidupan publikd dan hanya memiliki sedikit nilai sebagai isteri dan ibu.

Hampir sebagian besar perempuan tidak menyadari atau mau melawan ideologi patriarkhi, meskipun mereka mengorganisir isu-isu tertentu untuk kepentingan mereka. Perlawanan demistifikasi ideologi patriarkhi bagi feminis adalah, dengan demikian, mirip dalam beberapa situasi. Pertama, perlawanan dapat diatasi di mana keuntungan yang jelas bahwa perempuan menarik diri dari dominasi laki-laki, yang dianggap keluar dari cara pandang mereka yang tak menguntungkan. Dalam kasus ini, di mana ibu-ibu rumah tangga memiliki pendapatan sendiri, mobil, waktu, dan sumberdaya yang mendukung kegiatan-kegiatan dalam waktu luang dan kenikmatan serta mengendalikan waktu, atau meningkatkan karir mereka. Di sisi lain skala tujuan masyarakat, perempuan tidak bersedia mengeritik gagasan-gagasan patriarkhi dan mengatur di mana laki-laki secara sosial dan ekonomis diuntungkan, yang membuat perempuan sedikit merasakan lebih buruk daripada laki-laki. Perlawanan terhadap demistifikasi ideologi patriarkhis oleh kalangan feminis juga berkait di mana feminisme tampaknya sebagai budaya dominan menghalangi tradisi dan adat-istiadat kelompok-kelompok yang disubordinasi. Hal ini menjadi dasar begitu banyak perlawanan di dunia ketiga terhadap feminisme barat sebagai bentuk budaya kolonial yang menindas.

Titik-pijak dari mana kalangan feminis menatap masa depan, kemudian, tidak mudah untuk diangkat bersama. Ini sangat bergantung pada seberapa jauh mereka membangun kesadaran kritis kepentingan-kepentingan politisnya. Beberapa isu yang mereka lontarkan mungkin urgen, mungkin yang lainnya menjadi prioritas berikutnya, beberapa lainnya menentang hambatan klas atau kepentingan rasial, hambatan agama, atau budaya. Dari beberapa kasus perjuangan tersebut memang membutuhkan dukungan kaum lelaki untuk melawannya. Tentu saja, feminisme harus mengkhususkan wilayah yang sangat umum persoalan transformasi, yang tanpa itu perempuan tak dapat terbebaskan.

Hambatan mengenai transformasi penting untuk dipahami dalam rangka pembebasan perempuan yang hendak dirumuskan. Hambatan ini terbentuk, pertama-tama, oleh tujuan umum pembebasan yang tersirat di dalam feminisme, yakni dengan pengertian bahwa perempuan potensial hidup secara seksual, produktif, dan mereproduksi makhluk hidup tanpa mesti ditindas oleh kaum lelaki. Kedua, memberikan pengertian umum tentang pembebasan ini, bahwa hambatan dibentuk oleh keterkaitan di dalam masyarakat yang nyata antara sistem seks dan gender, produksi, dan reproduksi, melalui mana masyarakat mengembangkan hubungan-hubungan seksual, sosial, ekonomis dan politiknya. (HG)

Perlawanan Perempuan > Playboy Cap Kuasa

Playboy Cap Kuasa

Mandy, majalah berisi gambar-gambar wanita tanpa busana itu, aku apit di ketiak. Mataku jelalatan. Ke kanan, ke kiri. Sudut mata: tak ada siapa pun: Aman!

Dengan bergerilya, sampai juga aku ke toilet kantorku.

Pintu berjajar-jajar, terbuka. Ada satu yang tertutup. Dengan birahi menggelegak, aku mendatangi pintu yang tertutup. Bayanganku di kaca wastafel pun terlihat bernafsu.

Aku mendorong pintu itu.

Hah! Di dalamnya, ada seorang wanita yang sedang duduk di toilet. Tangannya menutupi. Itu, ‘kan Mendy, teman kantorku!

Eit, eit, sorrysorry!” kataku malu.

Heh, Budianto, tutup pintunya, dong! ‘Kan malu,” ucap Mendy sengit.

Aku mau beranjak, lantas...

Heh, siapa yang nyuruh kamu keluar? Maksudku, tutup pintunya—kamunya ke sini! Ngerti?” perintah Mendy dengan jari telunjuknya yang genit memanggil.

Aku tak kuasa menolak. Kami menggelinyar. Uh-ah! Larut dalam ruangan toilet.

Tiba-tiba...

Duk-duk-duk, “Ada orang di dalam, ya?” teriak manajerku dari luar. “Bud, Budianto, kamu tidur apa sedang baca mantra? Cepat kerja lagi, sana!”

Sontak khayalanku jempalitan. Aku terkesiap kaget. Posisi tanganku sedang asyik mencekik si ‘Adik Kecil,’ sementara tangan yang lain memegang majalah Mandy yang terbuka. Bos-ku di luar, menggedor-gedor pintu: membuyarkan fantasi liarku.

Lho? Lah, ke mana perginya si Mendy? Entah, ia menguap bersama khayalanku, meninggalkan gumpalan-gumpalan tisu lengket ini. Napasku masih tersengal. Hosh-hosh. Aku berfantasi: aku merancap.

Hua-ha-ha-ha-ha,” tawa atasanku membahana. “Dasar Budianto! Goblok!”

Tawanya masih terdengar dari ruangannya. Aku dapat menebak, apa yang sedang dilakukannya. Sedari tadi, ia pasti membaca sambil mendengarkan radio. Kerjanya, ya itu saja. Baca majalah khusus laki-laki. Bahasa kerennya, kaum metroseksual. Itu, laki-laki dandy yang suka dandan. Paling-paling, kalau sudah membaca, kakinya selalu melanglang buana ke atas meja yang di atasnya terdapat papan nama “Direktur”. Radio yang didengarnya? Dia suka dengar berita (mungkin itu satu-satunya hal positif yang ada pada dirinya).

Kali ini ia sedang malas diganggu. Ia hanya cukup memerintahkan aku agar berbohong. Bilang saja aku sedang rapat, tidak ada di tempat, atau apa-lah, katanya menyuruhku berbohong, pagi ini. Kalau sudah begini, terpaksa aku harus menjadwal ulang semua agendanya. Maklum, aku adalah sekretarisnya, itu sudah tugasku. Meski berbohong tidak termasuk di dalamnya.

Nama “Direktur”-ku, Paryanto. Pria beristeri berusia 40-an yang menapaki tangga karir berbekal keturunan: pewaris pemegang saham terbesar. Ia selalu pura-pura tuli kalau dipanggil Pak Paryanto olehku. Ia selalu memintaku memanggilnya “Mas Yans”—lebih elit, katanya. Dan, lebih mesra. Huh!

Namaku? Hmm, panggil saja Ayu. Tentu itu bukan namaku yang sebenarnya.

Aku orangtua tunggal dari dua anak. Mereka berumur lima dan tiga tahun. Anak-anak yang lucu-lucu. Bapak mereka menceraikanku. Aku tak perlu menyebutkan alasan kami bercerai. Yang jelas, pengadilan mengabulkan gugatanku, sekaligus memberikan hak asuh anak-anak padaku. Aku beruntung. Selama proses perceraianku berlangsung, aku didampingi oleh teman-teman dari sebuah LSM. Hakim pun berpihak padaku. Putusannya tak hanya memberikan hak asuh anak-anak padaku, beliau juga menetapkan kalau suamiku (sekarang mantan) harus memberikan nafkah bagi anak-anak hingga mereka dewasa. Begitu kata Undang-undang yang berlaku—katanya.

Namun, putusan tinggal putusan. Mantan suamiku meninggalkan kewajibannya. Ia tak mau menafkahi anak-anak. Ia bilang, lantaran aku yang mengasuh mereka, aku pula yang harus menafkahi. Tidak adil. Undang-undang—kalau aku tak keliru UU No. 1 tahun 1974—menyatakan bahwa peran suami sebagai kepala keluarga, dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Lantas, bagaimana dengan kewajiban memberi nafkah bagi anak-anak—aku tak perlu meminta-minta, anak-anak-lah yang paling penting. Kekurangan putusan tersebut: tak ada ikatan sanksi. Mantan suamiku bebas melenggang. Meninggalkan kewajibannya. Lagi pula, undang-undang tersebut sudah seharusnya diubah: tak lagi mengatur urusan siapa yang bertindak sebagai kepala keluarga.

Pontang-panting. Aku mesti menafkahi anak-anak. Beruntung, aku lulusan sebuah akademi sekretaris. Jadilah aku melamar. Baru dua bulan aku bekerja. Kata Fandi, seorang manajer muda yang akrab denganku, aku menggantikan sekretaris lama yang dipecat: agaknya, aku tahu alasannya. Begitulah sejarahku hingga terdampar di tempat ini. Dengan kondisi kerja yang tak kondusif, aku tetap bertahan. Anak-anak perlu makan. Perlu pendidikan. Aku pun gundah akan teman hidup.

“Yu, cepat ke mari!” Bos-ku memanggil dari telepon di mejanya.

Lamunanku pecah. Aku beranjak menghampiri.

‘Ku buka pintu: Betul saja, posisinya persis seperti bayanganku tadi. Membaca sambil dengar berita di radio.

“Coba baca ini, Yu!” katanya setengah memerintah. Dalam hatiku berpikir, siapa peduli. Tapi aku baca juga.

“Lucu, ‘kan?” katanya mencari dukungan. Aku hanya mengangguk perlahan: tak senyum, apalagi tertawa.

“... RUU APP. Pawai ini juga turut mengundang artis-artis ibukota. Bahkan, beberapa dari daerah. Mereka mementaskan kesenian dari daerah masing-masing....” teriak radio di dekat kakinya.

He-he-he,” ia cengengesan. (Oh tidak, aku tahu nada tawa itu!) “Ngapain si Budianto itu pake ngumpet-ngumpet. Coba kalau dia jadi direktur—seperti aku—‘kan, bebas.”

Sejurus kemudian, tangannya sudah melingkar di pinggangku. Merengkuhku. Kurang ajar! Benar saja, dia melakukannya lagi. Aku menampik tangannya.

Deuu, gitu aja sewot,” rayuan gombalnya mulai meluncur. “Sini, sini, biar Mas Yans pijitin, ya?” Ia mulai berdiri di belakangku. Lantas, kembali tangannya menggerayangi, kali ini di pundakku. Kontan aku berbalik.

“Pak, maksud Bapak apa, sih, memanggil saya ke sini?” suaraku bergetar—begitu juga tubuhku. “Cuma untuk...”

Heh, aku, ‘kan di sini, Bos-mu!” ia memotong, nadanya meninggi. “Kamu itu bawahan! Sudah seharusnya...”

Tok-tok-tok, “Permisi, Pak.” Fandi masuk sambil tersenyum padaku. Senyumnya mengurangi kegundahanku. Kebetulan ini menyelamatkan aku. Lagi.

“... Sementara itu, staf kepresidenan Iran mengatakan bahwa Presiden Ahmadinedjad mengirimkan surat kepada Presiden Bush. Namun, ia tak merinci isi surat tersebut...”

“Kamu itu biasa: lain kali, kalau mau masuk, tunggu dipersilahkan, baru masuk! Mengganggu saja!”

Hmm, iya Pak, maaf. Ini laporan yang Bapak minta, kemarin.”

“... berhasil menjuarai Piala UEFA. Sevilla menang telak atas Middlesbrough: 4 – 0. Ini merupakan...”

Kesempatan muncul. Secepat kilat, aku pergi meninggalkan ruangan itu.

Begitulah. Ia selalu menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendak. Mengingatkan bahwa aku hanyalah bawahannya. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk memuaskan nafsu ‘makhluk-bodoh-tak-bertulang-belakang’ di antara kedua kakinya itu. Rayuannya pun bukan hanya kata-kata mesra saja, ia bahkan menjanjikan imbalan jabatan—dan jaminan keamanan dalam jenjang karir, tentunya.

Rayu-rayuan tak mempan. Sekali waktu ia pernah memberikan pilihan: melayani nafsu buasnya atau mendapat sanksi. Dipecat, seperti sekretaris sebelum aku? Bahkan, kalau sudah tak tahan, ia suka sruduk-sruduk main peluk, main cium segala! Jahanam! Aku tak bisa mengandalkan kebetulan-kebetulan lagi. Aku harus melawan. Tapi... aku butuh uang untuk anak-anak. Aku butuh teman hidup untuk membesarkan mereka, bersama-sama. Bagaimana ini?

Fandi keluar dari ruangan atasanku. Kembali ia tersenyum padaku. Matanya mengucap beribu bahasa. Senyumnya menyejukkan. Sambil berlalu ia meninggalkan secarik kertas di mejaku. Isinya: “Aku tahu tempat makan yang enak: makan siang bareng, yuk?” Aku tersipu-sipu. (TE)

Sumber: direka ulang dari tuturan ‘Ayu’ pada penulis

Perlawanan Perempuan > Gerakan Perempuan Indonesia, Tanya Kenapa

Gerakan Perempuan Indonesia, Tanya Kenapa?

kemerdekaan

jika ia matahari, memang kemerdekaan

adalah matahari, bukan bulan

indah sekalipun di waktu malam


jika ia butir nasi, memang kemerdekaan

butir nasi di piring jendral atau peminta minta

yang menghidupi hasrat untuk hidup

jika ia atap rumah memang kemerdekaan

atap vila atau gubuk kardus

yang keduanya meneduhi kebangkitan

satu hitam

satu putih

satu seribu warna kehilangan nama

jika ia buah memang kemerdekaan

buah yang harus direbut

penanamnya sekalipun

jika ia rantai memang kemerdekaan

adalah rantai yang mengikat kesetiaan

(Putu Oka Sukanta dalam buku “Selat Bali: Sajak-sajak buat Burung Camar”, Inkultra Foundation, 1982)

Konteks sejarah

Perempuan Indonesia memulai eksistensi gerakannya dalam proses kebangkitan nasional Indonesia. Pada akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia mulai berubah secara drastis, sebagai kaum terpelajar baru untuk pegawai pribumi, membangun berbagai organisasi nasionalis yang pertama. Sementara itu, sejumlah organisasi perempuan pertama juga didirikan, yang mengidentifikasi dengan kepentingan gender tertentu sebagai perhatian utama mereka. Dalam tahun 1928 Kongres Wanita Pertama menyebarluaskan berbagai kepentingan itu, dan untuk pertama kalinya berkumpul bersama berbagai organisasi perempuan.

Menjelang abad ke-20, sistem tanam paksa telah menimbulkan bencana hebat, hingga kelaparan melanda daerah pedalaman Jawa. Petani diwajibkan menghasilkan hasil tanaman yang langsung untuk pasar kolonial. Ini membawa berbagai akibat politik yang luas. Petani menjadi renggang dari tuan tanah mereka, yang telah dibikin menjadi sandaran sistem tanam paksa untuk mengeksploitasi mereka. Elit pedesaan memperkokoh posisinya, sementara itu jumlah petani tak bertanah semakin membengkak. Sekolah dan masuk birokrasi kolonial menjadi lebih penting ketimbang penguasaan hak milik perseorangan dalam bentuk tanah.

Kesempatan pendidikan tersebut diambil anak-anak priyayi rendah dan elit desa yang mapan tetap menjauhi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Elit terpelajar tersebut kemudian menjadi tulang punggung gerakan nasional, yang menggunakan nilai-nilai kemerdekaan, pernyataan diri dan keadilan sosial yang baru untuk mengeritik situasi kolonial.

Berlakunya politik etis berarti meningkatnya campur tangan negara kolonial dalam urusan ekonomi dan mengakhiri liberalisme sebelumnya. Rencana ini dibarengi dengan program yang ambisius dalam pendidikan, prasarana irigasi, hukum dan kesejahteraan rakyat jajahan. Pulau-pulau luar Jawa menjadi sumber penghasil utama tanaman ekspor (tembakau, karet) dan bahan-bahan mentah (minyak, batu bara, timah). Politik kesejahteraan tanah jajahan ini tidak bertahan lama dan tak bermanfaat bagi rakyat di Jawa.

Gerakan emansipasi pra-1928 jauh lebih beragam dari arti kata “nasionalisme”. Alasan-alasan ekonomi dan agama lebih terasa. Masyarakat secara menyeluruh sedang bergerak menuju pembaruan; nasionalisme hanya sebagai penyebut untuk semua itu. Hapusnya pemerintahan kolonial menjadi panji-panji yang dikibarkan berbagai kelompok yang aneka macam, seperti kaum bangsawan, kelas menengah yang sedang tumbuh, saudagar Muslim, petani, dan perempuan dari berbagai kelompok sosio-ekonomi.

Gerakan luas untuk pembaruan sosial ini terdiri atas 4 aliran penting yang saling berkait:

· Nasionalisme gaya Eropa terutama dari lapisan atas dan menengah terpelajar

· Pembaru Islam

· Sosialisme

· Emansipasi perempuan

Perkembangan sosio-historis menjelang abad ke-20, seperti meluasnya Islam di Indonesia, dalam banyak hal berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Dampak moralitas burjuis ‘Victorian’ atas hubungan seksual di Indonesia tampak dari ketidaksenangan Belanda terhadap kebebasan seksual yang berakar di Hindu, yang terbukti di kuil-kuil Hindu tertentu. Usaha mempengaruhi seksualitas bangsa Indonesia terutama dipusatkan pada bupati, yang kedudukannya sangat mereka perkuat. Kebebasan seksual laki-laki berarti perceraian sepihak, poligini, pergundikan, dan perkawinan dengan anak-anak perempuan. Perempuan Indonesia menanggung penderitaan dari hubungan-hubungan seksual yang sederajat, yang mendapat pembenarannya baik oleh hukum adat maupun hukum Islam. Berbagai organisasi perempuan awal abad ke-20 memprotes praktik-praktik demikian (perkawinan anak-anak dan perkawinan paksa).

Kartini bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang berbicara melawan ketidakadilan dalam awal abad ke-20. Masalah yang mereka identifikasi sebagai paling berat bagi perempuan ialah:

  • Pendidikan untuk perempuan
  • Perbaikan perkawinan (penghapusan perkawinan anak dan permaduan)
  • Menentang pelacuran
  • Memberi kesempatan lebih luas untuk perempuan tampil di depan umum
  • Pendidikan seks
  • Upah sama untuk pekerjaan yang sama
  • Perbaikan keadaan penghidupan petani
  • Pendidikan untuk perempuan tani

Pada 1920-an untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, perempuan bergerak di sekitar kepentingan gender mereka. Mereka mengambil bentuk masalah sosio-kultural perempuan, dan mengorganisir diri di atas dasar keagamaan dan daerah serta gerakan politik yang penting saat itu. Berbagai sekolah perempuan didirikan dan sejumlah majalah diterbitkan, serangkaian aksi atas nama perempuan buruh dan pelacur dilancarkan.

Organisasi formal perempuan pertama yang berdiri yakni Putri Mardika, didirikan di Jakarta tahun 1912. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan lebih tampil di depan umum, mengangkat perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki. Antara tahun 1913-1915 berdiri berbagai organisasi perempuan di Jawa dan Minangkabau. Mereka mendobrak kungkungan rumah tangga. Perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama yang penting saat itu. Pada tahun 1918 bagian kewanitaan Sarekat Islam dirintis oleh Siti Fatimah di Garut. Pada 1920 berdiri sebuah perkumpulan di Yogyakarta bernama Wanita Utama. Kemudian berdiri organisasi perempuan sosialis sekitar 1920-an. Tahun 1924 Wanita Katolik didirikan di Yogyakarta. Organisasi ini membuka kursus baca-tulis untuk para buruh perempuan.

Tahun 1928, dilaksanakan Kongres Wanita se-Indonesia mengawali suatu tradisi kerjasama antara berbagai organisasi perempuan, yang tetap hidup hingga sekarang. Namun demikian, kongres yang penting ini juga menandai sejumlah pergeseran penting, dalam cara-cara kaum perempuan Indonesia merumuskan kepentingan gender mereka. Semua organisasi sepakat bahwa pembaruan dalam perkawinan diperlukan, namun dalam soal monogamy, golongan Islam berbeda dengan golongan sekular dan Kristen. Pada 1933 berdiri Mardi Wanita, sebuah organisasi perempuan politik yang lebih radikal. Sebelumnya, tahun 1929 berlangsung kongres perempuan ke-2 di Jakarta yang dihadiri sekitar 50 puluh organisasi perempuan. Pada 1932 berdiri Isteri Sedar yang menyerukan agar kaum perempuan Indonesia terjun dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional. Tahun 1942 Jepang mendirikan organisasi perempuan bentukannya yang bernama “Barisan Putri Asia Raya”. Jepang membubarkan semua organisasi sebelum perang.

Walau selama perjuangan nasional gerakan perempuan telah mencapai momen kesatuan yang tinggi, namun kesatuan ini tidak dicapai atas dasar perjuangan bersama demi kepentingan perempuan. Ketegangan hubungan antara organisasi perempuan Muslim dan non-Muslim semasa perang tak dapat diredam. Kaum perempuan terjun dalam perjuangan nasional atas dasar tanggungjawab yang sama, tapi di bawah persyaratan yang tidak sama. Dalam rangka kepentingan persatuan nasional, perjuangan melawan seksisme laki-laki telah diabaikan.

Kemerdekaan nasional memberi hak-hak politik dan hukum tertentu pada perempuan Indonesia, namun tidak menghapus struktur patriarkhi. Sesudah kemerdekaan organisasi-organisasi itu menyatakan kepentingan-kepentingan mereka sebagai perluasan soal-soal kerumahtanggaan: pembrantasan buta huruf, penyembuhan penyakit sosial, kesusilaan masyarakat dan semacamnya. Perempuan sudah merasa puas apabila kesamaan hak-hak politik telah tercapai. Penghancuran gerakan perempuan radikal masa 1965 menjadi titik penting kemunduran perjuangan perempuan dalam banyak bidang. Kuatnya dominasi negara di masa Orde Baru semakin meminggirkan gerakan perempuan di tepi jurang kehancurannya. Sekitar tahun 1980-an menguat kembali gagasan feminisme di kalangan muda perempuan kota dan terdidik untuk melawan dominasi negara atas perempuan. Namun kaum muda ini tak pernah berhimpun dalam suatu organisasi sosial politik manapun. Mereka tersebar dalam wadah-wadah semacam organisasi non-pemerintah (ornop), yang punya prinsip non-partisan. Akibatnya, tak ada lagi gerakan massa perempuan.


Visi, Strategi, dan Metode alternatif

Pengalaman bekerja di organisasi akar rumput dan kelompok-kelompok perempuan membawa kita pada kenyataan mendasar. Pertama, kesadaran dan etika kita kini perlu dikristalisasi menjadi suatu visi yang jelas mengenai apa yang kita kehendaki terjadi pada masyarakat, dan apa yang kita inginkan dari perempuan. Perempuan juga memerlukan strategi yang membawanya dari sini ke sana, membawa mereka melampaui dekade saat mana perempuan mulai menyadari tugas-tugas yang ditetapkan sebelumnya, juga kedalaman kekuatan dan potensi. Akhirnya, kita memerlukan metode untuk mengaktualisasikan visi dan strategi kita. Ini menjadi tema kuat gerakan perempuan modern di mana sasaran, metode, hasil akhir dan sarana saling terkait erat. Refleksi atas sarana dan metode menjadi vital.

Kita menginginkan suatu dunia di mana ketidakadilan berdasarkan klas, gender, dan ras lenyap dari tiap negeri, dan dari hubungan antar negeri. Kita menginginkan suatu dunia di mana kebutuhan dasar menjadi hak-hak dasar dan di mana kemiskinan serta segala bentuk kekerasan dihapuskan. Dengan kata singkat, tiap orang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya secara penuh, dan nilai solidaritas dan kebersamaan perempuan menjadi hubungan nilai kemanusiaan. Peran reproduktif perempuan hendaknya dirumuskan ulang: peran perawatan anak-anak juga dikerjakan oleh laki-laki, perempuan dan masyarakat keseluruhan. Kita menghendaki dunia di mana sumberdaya massif yang dipergunakan untuk tujuan penghancuran dipakai untuk keperluan pemulihan lingkungan. Revolusi teknologi ini harusnya menghapuskan penyakit dan kelaparan serta memberikan perempuan sarana aman untuk mengendalikan kesuburan mereka. Kita menghendaki dunia di mana semua lembaga terbuka bagi partisipasi demokratis, di mana perempuan berbagi dalam menentukan prioritas dan pembuatan keputusan.

Peningkatan kesempatan perempuan memerlukan strategi jangka panjang yang sistematis, dengan tujuan mengubah struktur dan membangun akuntabilitas pemerintahan, sehingga rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam strategi jangka panjang, kita akan mematahkan struktur ketimpangan gender, klas dan bangsa dengan tindakan yang melampaui batas-batas hambatan agar proses tanggungjawab atas kebutuhan rakyat berjalan baik. Persyaratan untuk perubahan bangsa secara fundamental ialah pembebasan bangsa dari dominasi kolonial, memandirikan bangsa paling tidak dalam hal energi, pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih. Hal lainnya mencakup bentuk strategi ekspor dalam bidang pertanian dan industri dan kendali lebih besar atas kegiatan perusahaan-perusahaan multi-nasional, kemungkinan strategi pembaruan sumberdaya untuk kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. (HG)

Sumber bacaan:

  1. Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan, Kalyanamitra dan Garba Budaya, Jakarta, Agustus 1999.
  2. ISIS Women’s Journal No.6, Women, Struggles and Strategies, Rome, 1986.

Perempuan dan Kespro > Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terabaikan: Ironi Pembangunan Indonesia

Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terabaikan:

Ironi Pembangunan Indonesia

“Kita ingin suatu dunia di mana ketidakadilan berdasarkan klas, gender dan ras tidak ada di tiap negeri dan di dalam hubungan antar negeri. Kita ingin suatu dunia di mana kebutuhan-kebutuhan dasar menjadi hak-hak dasar, dan di mana kemiskinan dan segala bentuk kekerasan dihapuskan. Tiap orang akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri atau potensinya atau kreativitas, dan nilai-nilai alami serta solidaritas akan memberi watak dalam hubungan antar manusia. Dunia di mana peran reproduksi perempuan dirumuskan kembali: laki-laki lebih bertanggungjawab terhadap perilaku seksualnya, kesuburan dan kehidupan kedua pasangan. Perawatan anak-anak menjadi tanggungjawab laki-laki, perempuan dan masyarakat keseluruhan.” (DAWN’s vision)


Penduduk dan Pembangunan

Pertentangan antara persoalan seputar penduduk dan pembangunan bukan hal baru bagi kita. Pandangan Reverend Thomas Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk tidak pernah berubah secara mendasar sejak tahun 1789. Malthus memperlihatkan impak pertumbuhan penduduk terhadap ketersediaan pangan. Kemudian ide Malthus ini senantiasa mendominasi pemikiran di kalangan penentu kebijakan publik di banyak negara. Pada periode pasca Perang Dunia Kedua, ekonomi dunia mengalami kebangkrutannya, sehingga pengelolaan kependudukan menjadi perhatian utama kalangan penguasa.

Ilmuwan yang pro teori Malthus lalu membangun bukti-bukti ilmiah bahwa laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat akan memberi impak negatif terhadap kemampuan cadangan kekayaan negara, pembentukan modal dan investasi di sektor publik. Dengan ditemukannya metode kontrasepsi modern sejak 1960-an, maka dimulai upaya massif penjarangan, pembatasan dan penurunan jumlah penduduk di banyak negara (terutama negara-negara maju). Ketika Konferensi Kependudukan Dunia berlangsung di Bukares tahun 1974, panduan kebijakan publik siap mempromosikan kombinasi pertumbuhan ekonomi dan keluarga berencana oleh kalangan pemerintah maupun non-pemerintah.

Namun kalangan ilmuwan dan penentu kebijakan di negara-negara berkembang bangkit menentang kecenderungan neo-Malthus, dengan pandangan perlunya transformasi tatanan ekonomi dunia dan tanggungjawab terhadap kebutuhan dasar manusia. ‘Pembangunan merupakan kontrasepsi terbaik’ menjadi sikap dan posisi pandangan resmi negara-negara Selatan di dalam konferensi tersebut. Sepuluh tahun kemudian, kalangan ekonom neo-liberal juga mempertanyakan kerangka kerja neo-Malthus itu.

Perdebatan masalah kependudukan pada 1990-an meyakinkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di negara-negara Selatan menjadi akar kehancuran lingkungan hidup dunia. Sekali lagi, ini mendorong pembuat kebijakan menekankan bahwa kesuburan perempuan menjadi penghambat pembangunan. Hadirnya kekuatan-kekuatan lama dan suara-suara baru dalam Konferensi Internasional Pembangunan dan Kependudukan tahun 1994 beresiko memundurkan gerakan yang ada. Pandangan feminis berhasil mengubah substansi yang diajukan dalam Rencana Aksi Kependudukan Dunia tahun 1994, selain terus melakukan penentangan-penentangan. Perlawanan keras datang dari komunitas konservatif yang mengemukakan hak asasi manusia sebagai dasar penentangannya. Akan tetapi, beberapa dekade kemudian alasan-alasan politik dan agama justru yang melawan perempuan untuk menentukan kebebasan dirinya dan hak reproduksinya.

Gerakan feminis internasional mengenai hak-hak reproduksi perempuan secara terbuka melawan kekuatan-kekuatan agama yang konservatif. Kalangan feminis mengeritik kecenderungan untuk ‘menaturalisasi’ reproduksi, seksualitas dan keluarga. Kalangan feminis beranggapan bahwa keluarga bukan ‘enclave’ yang secara alami terpisah, melainkan femomena masyarakat yang beragam yang selalu bertransformasi. Mereka percaya bahwa gender dan keluarga adalah bentukan masyarakat, maka hal itu harus ditransformasi agar menjamin kesetaraan dan menyediakan landasan bagi penentuan reproduksi mandiri perempuan. Pembangunan yang didominasi kultur laki-laki pada gilirannya menjebak perempuan dalam gagasan-gagasan reproduksi, seksualitas dan keluarga, yang dikendalikan oleh negara.


Eksploitasi Seksualitas Perempuan

Dalam wacana seksualitas manusia, maka seksualitas perempuan menjadi hal penting untuk membicarakan masalah reproduksi. Kalangan feminis memandang bahwa seksualitas manusia dikonstruksi berdasarkan hubungan laki-laki dan perempuan, yang tidak setara, sehingga seluruh aspek kehidupan masyarakat juga mencerminkan ketidaksetaraan itu. Seksualitas bukan sekadar rangkaian naluri atau kebutuhan biologis (alat kelamin semata), melainkan bentuk interaksi sosial yang memberikan status dan peran sosial tertentu pada seseorang.

Dengan kerangka pemikiran ini, maka hak-hak perempuan untuk mengontrol tubuhnya sendiri menjadi sentral sifatnya. Pemikiran ini tentu saja mendapat tantangan yang keras di kalangan konservatif di masyarakat kita (Indonesia). Ada anggapan bahwa kita harus mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi (individu), sehingga pribadi wajib menaatinya. Seksualitas perempuan harus ditempatkan pada kepentingan umum, sehingga ketika negara atau pemerintah menerapkan sistem keluarga berencana, maka kalangan perempuan wajib melakukannya. Meskipun, pada akhirnya, kalangan perempuan menjadi sasaran eksploitasi berbagai kepentingan negara atau pemerintah ini.

Eksploitasi seksualitas perempuan tak hanya menguat di kalangan pemerintah, dengan program keluarga berencananya itu, tetapi juga di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis agama. Mereka mengisolasi perempuan dari kehidupan publik. Mereka menggunakan tubuh perempuan sebagai ‘medan pertempuran’ untuk meraih kekuasaan politik negara. Kalangan feminis melihat secara sederhana bahwa reproduksi manusia melalui ‘tubuh’ perempuan. Karena itu, lembaga agama dan budaya serta kependudukan meletakkan dasar kegiatannya melalui sistem gender yang ada. Dalam masyarakat manusia, kehidupan sehari-hari perempuan penting untuk memberi makan, pakaian dan kebutuhan keluarganya, yang menjamin keberlanjutan komunitasnya. Kenyataan ini merupakan jabaran dari pembagian kerja berbasis gender yang beranggapan bahwa tanggungjawab reproduksi membentuk perluasan biologis perempuan, sehingga perempuan kehilangan otonominya untuk menentukan secara mandiri keputusan atas tubuhnya dan seksualitasnya.

Kebijakan Pengelolaan Kesuburan

Dalam budaya masyarakat pertanian dan masyarakat nomaden terdapat tatacara pengaturan untuk meningkatkan dan menurunkan kesuburan, sebagai strategi keseimbangan ukuran komunitas mereka yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya di sekitarnya. Bukti-bukti sejarah menjelaskan bahwa norma-norma pra modern dan aturan-aturan itu dirancang untuk mengintervensi persoalan reproduksi. Dan kini, program kependudukan pemerintah bukanlah hal baru. Yang baru hanyalah jangkauan intervensi program semakin luas. Sejak abad 18, ketika kekuatan ekonomi ditata ulang oleh kapitalisme industrial, maka hubungan negara-masyarakat ditransformasi dan isu-isu privat menjadi sasaran kepentingan publik pula.

Contoh modern pertama intervensi negara secara langsung yaitu menjadikan kesuburan perempuan sebagai kebijakan pengelolaan publik. Kebijakan keluarga berencana sebagai sarana pengendali penduduk menjadi bukti bagaimana ruang privat perempuan dijadikan sasaran kebijakan. Tidak dilihat, bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan keputusan atas tubuhnya atau kesuburannya. Kalangan feminis menganggap bahwa pratik pengendalian kesuburan perempuan untuk kepentingan kependudukan oleh negara adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia.

Di Indonesia, persoalan hak-hak reproduksi perempuan belum menjadi pokok perhatian yang serius. Terdapat sejumlah hak reproduksi yang sudah menjadi kesepakatan secara internasional, yang jarang dipahami masyarakat, yakni:

  1. Hak integritas fisik
  2. Hak atas pemilihan jodoh
  3. Hak dalam melakukan hubungan seks
  4. Hak menentukan kelahiran
  5. Hak atas pelayanan aborsi yang aman
  6. Hak atas kehamilan dan melahirkan yang aman
  7. Hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai

Praktik-praktik pelanggaran terhadap integritas fisik dan pengasingan perempuan dari kapasitas seksual dan reproduktifnya, juga terdapat pada persoalan yang berhubungan dengan hak-hak perempuan untuk memilih jodohnya, dan hak melakukan hubungan seks yang bebas dari stigma apapun. Begitupun hak perempuan untuk hamil dan melahirkan dalam keadaan sehat, aman, dan layak, justru harus difasilitasi oleh negara.

Dalam konteks makro, kebijakan dan implementasinya, jelas berdampak terhadap kondisi reproduktif perempuan. Di tingkat mikro, masalah itu tak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan sekitarnya. Masalahnya, keterkaitan tersebut jarang disadari masyarakat, bahkan oleh kalangan perempuan itu sendiri. Akibatnya, perempuan harus bertanggungjawab terhadap persoalan reproduktifnya. Dan, pembangunan sendiri telah melahirkan berbagai pertentangan bagi perempuan di Indonesia terpaut dengan hak-hak reproduktifnya. (HG)

Gender dalam Keluarga > Pendidikan dan Reproduksi Sosial

Pendidikan dan Reproduksi Sosial

Sistem pendidikan merupakan salah satu cara paling berkuasa negara dalam mencampuri proses reproduksi hubungan-hubungan sosial suatu “relasi produksi”. Campuran pengaruh gender dan klas sosial di sekolah-sekolah menjadi perhatian utama teori feminis. Hal itu terdapat di dalam kebijakan dan praktik pendidikan. Dan di sekolah pula, peran keluarga bagi perempuan terbuktikan daripada secara langsung di dalam kebijakan-kebijakan masyarakat.

Pengalaman-pengalaman di sekolah adalah faktor kunci bagaimana perempuan dialokasikan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Sistem pendidikan membutuhkan ujian-ujian tak hanya untuk kepentingannya, melainkan dalam kaitan keluarga, yang mendukung dan menghasilkan hal itu. Kita pun perlu memperhatikan tanggapan sistem pendidikan terhadap perubahan tuntutan pasar bagi tenaga kerja perempuan sebagaimana tuntutan perubahan oleh gerakan feminis. Kedua tekanan ini telah menjadi pusat perhatian diskusi-diskusi di kalangan masyarakat, begitu pun oleh kalangan pemerintah dan tampak dalam laporan-laporan. Dokumen-dokumen yang ada mencerminkan ketegangan yang bertentangan antara sistem pendidikan dan upaya penghapusan praktik diskriminasi di sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan yang “realistis” bagi perempuan yang tepat dengan peran kedewasaan mereka.

Teori dan praktik feminis menaruh perhatian serius bahwa sekolah berperan penting dalam mereproduksi subordinasi terhadap perempuan. Sistem pendidikan telah mengalami perlawanan atas perlakuannya yang seksis, begitu pun “kurikulum tersembunyi” di sekolah-sekolah. Namun, kritisisme ini umumnya terjadi terpisah dari teorisasi keluarga. Berbarengan dengan itu, sosiologi pendidikan baru yang berkembang lebih terpusat pada organisasi dan distribusi pengetahuan, budaya, dan ideology, dengan memperhatikan aspek reproduksi struktur klas (klas buruh khususnya), pada nilai hubungan perempuan dan laki-laki. Berbagai pandangan tersebut perlu dijabarkan bersama-sama. Suatu teori yang tepat mengenai keterkaitan di antara berbagai proses reproduksi sosial itu, memerlukan penyelidikan empirik.

Reproduksi sosial menuntut suatu proses legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah dicanangkan melalui suatu ingatan bahwa ‘bahkan di kalangan penduduk…kekuatan sosial terlihat dalam bentuk pertukaran ekonomis, dan karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara jujur…mekanisme distribusi kesempatan hidup’ (Habermas). Sejumlah penulis berpendapat bahwa ideologi “balas jasa” telah menempatkan dirinya sebagai ‘tema’ yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian, upaya perorangan, keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian rumusan kemampuan dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang maju.

Ada bentuk lain bagaimana ideologi “balas jasa” meningkat pesat, dalam arti, tak hanya dalam bentuk pengakuan formal kemajuan melainkan juga melalui atribut pribadi yang ‘bukan sebagai kepribadian’. Kepicikan pengertian ini mencuat sebagai upaya pembenaran atas proses seleksi yang terjadi, alokasi, dan penghargaan sosial.

Hal itu memerlukan suatu keluwesan dalam hubungannya dengan sistem pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang cocok dengan jenis pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan dengan melibatkan karakter kepribadian menjadi pernilaian.

Tentu saja proses ini selalu terjadi, namun kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat kerja. Proses ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan akan keterampilan-keterampilan di berbagai pangsa pasar kerja yang berbeda-beda. Proses tersebut terpaut langsung dengan kebutuhan perkembangan keterampilan-keterampilan pribadi dalam berbagai segmen pasar kerja. Sebagai isi ideologi yang selalu berubah—kumpulan gagasan yang secara aktif promosinya disahkan—terjadi perubahan di dalam praktik sosial yang menguatkan pengetahuan dunia sosial.

Kaum feminis meneorikan hal tersebut, dengan memetik pendapat Althusser mengenai aparat ideologi. Menurutnya, terdapat berbagai jenis aparat ideologi, misalnya media, serikat kerja, partai politik, sekolah, gereja dan keluarga. Semua itu dirumuskan sebagai bagian dari negara, karena kontribusinya terhadap kohesi sosial. Pengarakterkan keluarga sebagai aparat ideologi negara juga mengaburkan hubungan yang represif, aspek yuridis negara dalam relasi kekeluargaan: melalui pernikahan dan hukum perceraian, kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan anak, dan pembagian serta penarikan keuntungan ‘kemakmuran’, yang bergantung pada kondisi lingkungannya.

Tak hanya sebatas itu, relasi dan praktik sosial juga suatu bentukan ideologis dan melayani kepentingan alami ideologi bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan penting dalam analisa reproduksi sosial yang menitik-beratkan ideologi, sebagai kumpulan gagasan yang tak terpisahkan dari praktik sosial. Althusser tidak mempertimbangkan persoalan mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi dan lembaga. Althusser betul ketika beranggapan bahwa kompleks sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk mereproduksi relasi sosial suatu produksi. Namun dari sudut pandang feminis, justru penting mencari jalan keluar dari berbagai pertentangan itu daripada sekadar menganalisa kompleks ‘sekolah-keluarga’, yang saling menekan satu sama lain dalam rangka mempersiapkan orang masuk ke pasar kerja.

Kompleks ‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang menentukan bagi reproduksi sosial ‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun demikian, lembaga keluarga dan sistem pendidikan hanya institusi pedagogis, dan diyakini demikian. Tak hanya keluarga atau sekolah sebagai lembaga yang meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi juga ideologi berkuasa keluarga dan sistem pendidikan menjadi tempat bagi pembelajaran dan sosialisasinya.

Pembagian kerja laki-laki dan perempuan sebagai hasil proses produksi kapitalis melibatkan konsep diri ‘orangtua’ yang dibetuk dalam relasi pembagian kerja tersebut. Sehingga, ibu yang merumuskan dirinya sebagai pekerja rumah tangga, membiarkan cap pembedaan peran seks itu atas diri anak-anaknya. (HG)

Gender dalam Keluarga > Be Gentlemen: Persoalan Patriarkhis?

Be Gentlemen: Persoalan Patriakhis?

“Hidup dalam sebuah ilusi tanpa mengetahui kebenaran jauh lebih berbahaya dari apapun bagi manusia, pria atau wanita, karena akan menjauhkan orang dari senjata utamanya dalam memperjuangkan kebebasan, kemerdekaan dan mengatur hidup dan masa depan mereka. Menyadari bahwa kamu masih seorang budak yang hidup di bawah penindasan adalah langkah awal menuju jalan kebebasan”

(Nawal El Saadawi, “Perempuan dalam Budaya Patriakhi”)

Akar-akar sejarah dominasi

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dunia ini milik laki-laki. Perempuan hanya menumpang di dalamnya. Karena itu, laki-laki menjadi sangat berkuasa, dominan, dan keras. Perempuan hanya menjadi warga dunia kelas dua, didominasi, dan sasaran kekerasan. Apakah memang demikian adanya, atau bisa kita kembalikan ke akar-akar sejarah dominasi?

Penindasan terhadap perempuan tidak ditentukan semuanya secara biologis. Perbedaan seksual adalah kenyataan biologis yang ada, namun penindasan dan diskriminasi tidak selalu bisa dilekatkan begitu saja pada berbagai perbedaan tersebut. Asal-usul penindasan terhadap perempuan dasar karakternya lebih bersifat ekonomis dan sosial. Melalui proses panjang evolusi sosial dari masyarakat pra klas menjadi masyarakat berkelas, fungsi melahirkan perempuan senantiasa tak berubah. Sementara peran sosial perempuan telah berubah, dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Status perempuan tidak diturunkan menjadi pelayanan keluarga atau rumah tangga, atau menjadi sasaran penguasaan dan kendali laki-laki.

Sebelum terbentuk perkembangan kelas di dalam masyarakat, sepanjang periode masyarakat memungut-berburu, produksi masyarakat diorganisir secara komunal dan hasil produksinya dibagikan secara adil. Tidak berarti, bahwa tugas-tugas tidak dilaksanakan oleh berbagai sub-kelompok berdasarkan usia, gender, dan lainnya di dalam kelompok masyarakat yang besar. Dan itu berarti, tak ada eksploitasi dan penindasan suatu sub-kelompok oleh kelompok lainnya. Tidak ada basis material untuk munculnya hubungan sosial yang eksploitatif. Kedua jenis kelamin berpartisipasi dalam produksi masyarakat, membantu memastikan keberlanjutan dan ketahan hidup semuanya. Status sosial laki-laki dan perempuan tercerminkan dari peran tak tergantikan yang dimainkan oleh masing-masing jenis kelamin dalam proses kelangsungan hidup untuk semua. Pembedaan sosial ini tidak terkait dengan persoalan ketidakadilan.


Penindasan perempuan dan masyarakat berkelas

Asal-usul penindasan perempuan terlekat dengan transisi masyarakat tak berklas ke masyarakat berklas. Proses transisi ini memang senantiasa menjadi pokok diskusi dan penelitian di kalangan mereka yang melihatnya dari perspektif sejarah. Namun demikian, benang merah yang mendasari penindasan terhadap perempuan menjadi jelas. Perubahan status perempuan berkembang berbarengan produktivitas kerja manusia yang berbasis pertanian, pemeliharaan ternak, penyediaan pangan, munculnya pembagian kerja baru, kerajinan, dan perdagangan; penghargaan pribadi terhadap peningkatan dan kemapanan nilai lebih secara ekonomis, serta kemungkinan perkembangan bagi sebagian orang untuk menikmati penindasan atas tenaga kerja lainnya.

Dalam kondisi sosio-ekonomis yang khusus demikian, penghisapan atas manusia kemudian menjadi keuntungan pribadi bagi sebagian orang, maka perempuan karena peran biologisnya di dalam produksi (misalnya, produksi masyarakat untuk mengelola perkembangan generasi penerus dan produksi mereka untuk generasi selanjutnya), menjadi hak milik yang sangat berharga. Sebagaimana budak dan ternak domba, perempuan menjadi sumber kemakmuran. Perempuan mampu memproduksi manusia yang tenaga kerjanya kelak dapat dieksploitasi. Karenanya, pembelian perempuan oleh laki-laki, sepanjang terkait dengan berbagai hak mereka akan masa depan yang kelam, muncul sebagai salah satu lembaga sosial dan ekonomi tatanan baru yang didasarkan atas kepemilikan pribadi. Peran sosial dasar perempuan dirumuskan semakin berkembang sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak.

Bersamaan dengan akumulasi kekayaan pribadi, unit keluarga dikembangkan sebagai lembaga yang harus bertanggungjawab terhadap anggota keluarga/masyarakat yang tidak produktif, khususnya kaum muda, diubah-alih dari masyarakat keseluruhan menjadi individu yang bisa diidentifikasi atau sebagai kelompok kecil individu. Ini merupakan lembaga sosio-ekonomis yang paling mendasar bagi pengalihan dari satu generasi ke pembagian masyarakat berklas berikutnya; pembagian di antara mereka yang memiliki harta kekayaan dan kemakmuran hidup yang dihasilkan oleh kaum buruh lainnya, dan mereka yang tak berpunya, yang harus bekerja untuk kehidupan orang lain. Penghancuran keadaan egaliter dan tradisi komunal serta struktur purba komunisme adalah penting bagi kebangkitan klas tereksploitasi dan percepatan akumulasi kekayaan pribadi.

Sistem keluarga

Dalam kenyataannya, kata keluarga itu sendiri, yang dipergunakan dari asal kata bahasa Latin, yaitu famulus, yang artinya pembantu rumah tangga; dan kata familia, artinya budak yang menjadi milik seorang laki-laki.

Penindasan perempuan dilembagakan melalui sistem keluarga atau famili. Perempuan disingkirkan dari ruang kebebasannya dalam produksi masyarakat. Peran produktif mereka ditentukan oleh keluarga di mana mereka termiliki; oleh laki-laki yang mensubordinasi mereka. Ketergantungan ekonomis ini menentukan status klas-dua perempuan, di mana keberpaduan dan keberlanjutan keluarga senantiasa bergantung. Apabila perempuan dapat mudah membawa pergi anak-anak mereka, tanpa merasakan penderitaan dan kesulitan sosial ekonomis, maka keluarga tidak mungkin bisa bertahan hingga abad ini.

Keluarga dan pengrendahan perempuan eksis berbarengan dengan berbagai lembaga yang melahirkan klas masyarakat dalam rangka menjaga pembagian klas dan pengelolaan akumulasi kekayaan pribadi. Negara, dengan aparat polisi dan tentaranya, hukum dan pengadilan, menekan hubungan tersebut. Ideologi klas penguasa muncul di atas dasar ini dan memiliki peran penting dalam penurunan derajat seks perempuan. Lalu perempuan dikatakan secara fisik dan mental lebih rendah dari laki-laki, sehingga secara ‘alamiah’ atau biologis menjadi seks kedua (second sex). Sementara pengrendahan perempuan melahirkan berbagai konsekuensi bagi perempuan dalam klas-klas sosial yang ada; semua perempuan tanpa kaitan klas ditindas, sebagai dari jenis kelamin perempuan.

Tak ada lembaga lain dalam masyarakat yang perannya sungguh-sungguh tersembunyi dan penuh prasangka serta mistifikasi daripada keluarga. Kaum borjuis moralis membenarkan bahwa keluarga adalah basis alamiah dan moral kesatuan suatu masyarakat. Kalangan antropolog borjuis menguatkan mitos bahwa kesatuan dalam keluarga senantiasa eksis. Mereka menolak kenyataan bahwa keluarga berasal dan mengalir dari perkembangan kepemilikan pribadi, klas masyarakat dan negara. Secara kabur ada kenyataan bahwa dalam masyarakat pra klas unit dasar masyarakatnya ialah ‘klan’ dan di dalam klan kebutuhan terbagi secara merata. Struktur klan tidak sama dengan system keluarga, yang didasarkan atas ikatan kontrak perkawinan yang sah yang memungkin peralihan kepemilikan pribadi.

Sepanjang sejarah klas masyarakat, sistem keluarga membuktikan nilai-nilainya sebagai lembaga klas yang berkuasa. Bentuk keluarga diciptakan dan disesuaikan dengan kebutuhan klas penguasa yang berubah-ubah, sebagai moda produksi dan bentuk kepemilikan pribadi yang terjadi di tiap tahap perkembangan. Sistem keluarga dalam masyarakat perbudakan klasik jelas berbeda dengan sistem keluarga dalam sistem feudalisme. Dalam masyarakat perbudakan klasik, lembaga keluarga ditentukan oleh klas si pemilik budak (tak ada sistem keluarga di kalangan budak). Dalam feudalisme, sistem keluarga diperluas menjadi klas pekerja, majikan yang memiliki sejumlah sarana produksi (sebidang tanah, binatang, dan peralatan tangan), dan menjadi unit terkecil melalui mana produksi masyarakat dilakukan. Secara kontras, juga keluarga ‘inti’ di perkotaan saat ini telah menjadi unit produksi masyarakat yang terkecil.

Lebih dari itu, sistem keluarga secara bersamaan memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomis yang berbeda dalam acuan klas-klas dengan peran produktif dan hak kepemilikan yang kepentingannya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, ‘keluarga’ pekerja dan ‘keluarga’ tuan tanah, merupakan unit sosio-ekonomis yang saling berbeda. Namun demikian, keduanya adalah bagian dari sistem keluarga, lembaga klas penguasa yang memainkan peran tak terbatas pada tiap tahap dalam sejarah masyarakat berklas.

Perpecahan keluarga di dalam sistem kapitalisme membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi manusia, karena tak ada kerangka kerja hubungan antar manusia yang baru yang lahir dari sistem tersebut. Dalam masyarakat berklas, keluarga hanyalah lembaga di mana orang bisa kembali mencari kepuasan atas sebagian kebutuhan dasarnya, termasuk cinta dan persahabatan. Hal ini menjadi benar buat mereka yang benar-benar secara rasial, etnis, dan sebagainya ditindas. Bagaimanapun keluarga harus memenuhi kebutuhan demikian, karena tak ada pilihan nyata selama masyarakat berklas ada. Dengan demikian, tujuan utama keluarga bukan untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar tersebut. Keluarga lebih sebagai lembaga ekonomis dan sosial yang berfungsi sebagai berikut:

· Keluarga adalah mekanisme dasar di mana klas berkuasa merampas tanggungjawab sosial kehidupan ekonomis mereka yang menjadi tenaga kerja yang tereksploitasi—massa kemanusiaan.

· Sistem keluarga menyediakan sarana penyaluran kepemilikan pribadi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini adalah mekanisme sosial dasar untuk melanggengkan pembagian masyarakat menjadi klas-klas.

· Untuk klas berkuasa, sistem keluarga menyediakan mekanisme penerimaan ideologis untuk memproduksi tenaga kerja manusia. Menciptakan tanggungjawab keluarga untuk merawat kaum muda berarti porsi masyarakat guna mengakumulasi kekayaan, yang dirampas sebagai kepemilikan pribadi, untuk memperkuat produksi klas pekerja yang semakin dikurangi. Lebih jauh, kenyataannya bahwa tiap keluarga adalah unit terkecil, mempertahankan perjuangan hidupnya, menghalangi kaum tertindas dan tereksploitasi untuk melakukan aksi bersama.

· Sistem keluarga mempertahankan pembagian kerja sosial di mana perempuan secara mendasar dirumuskan melalui peran melahirkan dan merawat anak dan terikat tugas secara langsung dengan fungsi reproduksi tersebut—memperhatikan seluruh anggota keluarganya. Dengan begitu, lembaga keluarga terletak pada dan mempertahankan pembagian kerja yang melibatkan pengrendahan secara domestik dan ketergantungan ekonomis bagi perempuan.


Persoalan patriarkhi

Patriarkhi (berasal dari bahasa Yunani: patria berari bapak, dan arche berarti aturan) merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka, maka makin kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut. Istilah patriarkhi juga dipergunakan dalam sistem tingkat-tingkatan kepemimpinan laki-laki dalam hirarki gereja atau lembaga agama.

Istilah ‘patriarkhi’ berbeda arti dengan patrilineal dan patrilokalitas. Patrilineal merumuskan suatu masyarakat di mana pewarisan kekayaan (finansial atau lainnya) berasal dari garis bapak. Patrilokalitas merumuskan bahwa suatu lokus kendali datang dari wilayah bapak dan budaya komunitas. Dalam suatu masyarakat yang matrialineal atau matrilokal, seorang perempuan akan hidup dengan ibu dan saudara perempuannya serta kakak laki-lakinya, bahkan setelah menikah.

Budaya patriarkhis ini berkembang pasti dalam berbagai lembaga hingga kini. Lembaga agama, pendidikan, ekonomi dan lainnya mempertahankan praktik patriarkhis ini. Dalam masyarakat muslim, patriarkhi dalam bentuk pembagian peran antara perempuan dan laki-laki kedalam lingkup domestik dan sosial secara nyata terlihat. Di Amerika dan Eropa di mana budayanya didasarkan atas model Kristiani, kekuasaan agama dan politik pengaruh kuatnya berlanjut hingga kini. Ide-ide Abad Pencerahan, gerakan-gerakan revolusioner termasuk gerakan feminisme telah menghadirkan kesempatan perubahan bagi perempuan dan laki-laki.

Menurut kalangan feminis, patriarkhi terlihat dari pengorganisasian masyarakat berdasarkan keunggulan tokoh seorang laki-laki, kelompok laki-laki atau kaum lelaki secara umum. Mereka juga melihat patriarkhi sebagai sistem nilai yang berkuasa atas hidup, pengendali kenikmatan, dan dominasi atas kebahagiaan. Karena itu, menjadi laki-laki yang baik memang merupakan persoalan patriarkhis tersendiri! (HG)