Thursday, March 29, 2007

Perlawanan Perempuan > Playboy Cap Kuasa

Playboy Cap Kuasa

Mandy, majalah berisi gambar-gambar wanita tanpa busana itu, aku apit di ketiak. Mataku jelalatan. Ke kanan, ke kiri. Sudut mata: tak ada siapa pun: Aman!

Dengan bergerilya, sampai juga aku ke toilet kantorku.

Pintu berjajar-jajar, terbuka. Ada satu yang tertutup. Dengan birahi menggelegak, aku mendatangi pintu yang tertutup. Bayanganku di kaca wastafel pun terlihat bernafsu.

Aku mendorong pintu itu.

Hah! Di dalamnya, ada seorang wanita yang sedang duduk di toilet. Tangannya menutupi. Itu, ‘kan Mendy, teman kantorku!

Eit, eit, sorrysorry!” kataku malu.

Heh, Budianto, tutup pintunya, dong! ‘Kan malu,” ucap Mendy sengit.

Aku mau beranjak, lantas...

Heh, siapa yang nyuruh kamu keluar? Maksudku, tutup pintunya—kamunya ke sini! Ngerti?” perintah Mendy dengan jari telunjuknya yang genit memanggil.

Aku tak kuasa menolak. Kami menggelinyar. Uh-ah! Larut dalam ruangan toilet.

Tiba-tiba...

Duk-duk-duk, “Ada orang di dalam, ya?” teriak manajerku dari luar. “Bud, Budianto, kamu tidur apa sedang baca mantra? Cepat kerja lagi, sana!”

Sontak khayalanku jempalitan. Aku terkesiap kaget. Posisi tanganku sedang asyik mencekik si ‘Adik Kecil,’ sementara tangan yang lain memegang majalah Mandy yang terbuka. Bos-ku di luar, menggedor-gedor pintu: membuyarkan fantasi liarku.

Lho? Lah, ke mana perginya si Mendy? Entah, ia menguap bersama khayalanku, meninggalkan gumpalan-gumpalan tisu lengket ini. Napasku masih tersengal. Hosh-hosh. Aku berfantasi: aku merancap.

Hua-ha-ha-ha-ha,” tawa atasanku membahana. “Dasar Budianto! Goblok!”

Tawanya masih terdengar dari ruangannya. Aku dapat menebak, apa yang sedang dilakukannya. Sedari tadi, ia pasti membaca sambil mendengarkan radio. Kerjanya, ya itu saja. Baca majalah khusus laki-laki. Bahasa kerennya, kaum metroseksual. Itu, laki-laki dandy yang suka dandan. Paling-paling, kalau sudah membaca, kakinya selalu melanglang buana ke atas meja yang di atasnya terdapat papan nama “Direktur”. Radio yang didengarnya? Dia suka dengar berita (mungkin itu satu-satunya hal positif yang ada pada dirinya).

Kali ini ia sedang malas diganggu. Ia hanya cukup memerintahkan aku agar berbohong. Bilang saja aku sedang rapat, tidak ada di tempat, atau apa-lah, katanya menyuruhku berbohong, pagi ini. Kalau sudah begini, terpaksa aku harus menjadwal ulang semua agendanya. Maklum, aku adalah sekretarisnya, itu sudah tugasku. Meski berbohong tidak termasuk di dalamnya.

Nama “Direktur”-ku, Paryanto. Pria beristeri berusia 40-an yang menapaki tangga karir berbekal keturunan: pewaris pemegang saham terbesar. Ia selalu pura-pura tuli kalau dipanggil Pak Paryanto olehku. Ia selalu memintaku memanggilnya “Mas Yans”—lebih elit, katanya. Dan, lebih mesra. Huh!

Namaku? Hmm, panggil saja Ayu. Tentu itu bukan namaku yang sebenarnya.

Aku orangtua tunggal dari dua anak. Mereka berumur lima dan tiga tahun. Anak-anak yang lucu-lucu. Bapak mereka menceraikanku. Aku tak perlu menyebutkan alasan kami bercerai. Yang jelas, pengadilan mengabulkan gugatanku, sekaligus memberikan hak asuh anak-anak padaku. Aku beruntung. Selama proses perceraianku berlangsung, aku didampingi oleh teman-teman dari sebuah LSM. Hakim pun berpihak padaku. Putusannya tak hanya memberikan hak asuh anak-anak padaku, beliau juga menetapkan kalau suamiku (sekarang mantan) harus memberikan nafkah bagi anak-anak hingga mereka dewasa. Begitu kata Undang-undang yang berlaku—katanya.

Namun, putusan tinggal putusan. Mantan suamiku meninggalkan kewajibannya. Ia tak mau menafkahi anak-anak. Ia bilang, lantaran aku yang mengasuh mereka, aku pula yang harus menafkahi. Tidak adil. Undang-undang—kalau aku tak keliru UU No. 1 tahun 1974—menyatakan bahwa peran suami sebagai kepala keluarga, dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Lantas, bagaimana dengan kewajiban memberi nafkah bagi anak-anak—aku tak perlu meminta-minta, anak-anak-lah yang paling penting. Kekurangan putusan tersebut: tak ada ikatan sanksi. Mantan suamiku bebas melenggang. Meninggalkan kewajibannya. Lagi pula, undang-undang tersebut sudah seharusnya diubah: tak lagi mengatur urusan siapa yang bertindak sebagai kepala keluarga.

Pontang-panting. Aku mesti menafkahi anak-anak. Beruntung, aku lulusan sebuah akademi sekretaris. Jadilah aku melamar. Baru dua bulan aku bekerja. Kata Fandi, seorang manajer muda yang akrab denganku, aku menggantikan sekretaris lama yang dipecat: agaknya, aku tahu alasannya. Begitulah sejarahku hingga terdampar di tempat ini. Dengan kondisi kerja yang tak kondusif, aku tetap bertahan. Anak-anak perlu makan. Perlu pendidikan. Aku pun gundah akan teman hidup.

“Yu, cepat ke mari!” Bos-ku memanggil dari telepon di mejanya.

Lamunanku pecah. Aku beranjak menghampiri.

‘Ku buka pintu: Betul saja, posisinya persis seperti bayanganku tadi. Membaca sambil dengar berita di radio.

“Coba baca ini, Yu!” katanya setengah memerintah. Dalam hatiku berpikir, siapa peduli. Tapi aku baca juga.

“Lucu, ‘kan?” katanya mencari dukungan. Aku hanya mengangguk perlahan: tak senyum, apalagi tertawa.

“... RUU APP. Pawai ini juga turut mengundang artis-artis ibukota. Bahkan, beberapa dari daerah. Mereka mementaskan kesenian dari daerah masing-masing....” teriak radio di dekat kakinya.

He-he-he,” ia cengengesan. (Oh tidak, aku tahu nada tawa itu!) “Ngapain si Budianto itu pake ngumpet-ngumpet. Coba kalau dia jadi direktur—seperti aku—‘kan, bebas.”

Sejurus kemudian, tangannya sudah melingkar di pinggangku. Merengkuhku. Kurang ajar! Benar saja, dia melakukannya lagi. Aku menampik tangannya.

Deuu, gitu aja sewot,” rayuan gombalnya mulai meluncur. “Sini, sini, biar Mas Yans pijitin, ya?” Ia mulai berdiri di belakangku. Lantas, kembali tangannya menggerayangi, kali ini di pundakku. Kontan aku berbalik.

“Pak, maksud Bapak apa, sih, memanggil saya ke sini?” suaraku bergetar—begitu juga tubuhku. “Cuma untuk...”

Heh, aku, ‘kan di sini, Bos-mu!” ia memotong, nadanya meninggi. “Kamu itu bawahan! Sudah seharusnya...”

Tok-tok-tok, “Permisi, Pak.” Fandi masuk sambil tersenyum padaku. Senyumnya mengurangi kegundahanku. Kebetulan ini menyelamatkan aku. Lagi.

“... Sementara itu, staf kepresidenan Iran mengatakan bahwa Presiden Ahmadinedjad mengirimkan surat kepada Presiden Bush. Namun, ia tak merinci isi surat tersebut...”

“Kamu itu biasa: lain kali, kalau mau masuk, tunggu dipersilahkan, baru masuk! Mengganggu saja!”

Hmm, iya Pak, maaf. Ini laporan yang Bapak minta, kemarin.”

“... berhasil menjuarai Piala UEFA. Sevilla menang telak atas Middlesbrough: 4 – 0. Ini merupakan...”

Kesempatan muncul. Secepat kilat, aku pergi meninggalkan ruangan itu.

Begitulah. Ia selalu menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendak. Mengingatkan bahwa aku hanyalah bawahannya. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk memuaskan nafsu ‘makhluk-bodoh-tak-bertulang-belakang’ di antara kedua kakinya itu. Rayuannya pun bukan hanya kata-kata mesra saja, ia bahkan menjanjikan imbalan jabatan—dan jaminan keamanan dalam jenjang karir, tentunya.

Rayu-rayuan tak mempan. Sekali waktu ia pernah memberikan pilihan: melayani nafsu buasnya atau mendapat sanksi. Dipecat, seperti sekretaris sebelum aku? Bahkan, kalau sudah tak tahan, ia suka sruduk-sruduk main peluk, main cium segala! Jahanam! Aku tak bisa mengandalkan kebetulan-kebetulan lagi. Aku harus melawan. Tapi... aku butuh uang untuk anak-anak. Aku butuh teman hidup untuk membesarkan mereka, bersama-sama. Bagaimana ini?

Fandi keluar dari ruangan atasanku. Kembali ia tersenyum padaku. Matanya mengucap beribu bahasa. Senyumnya menyejukkan. Sambil berlalu ia meninggalkan secarik kertas di mejaku. Isinya: “Aku tahu tempat makan yang enak: makan siang bareng, yuk?” Aku tersipu-sipu. (TE)

Sumber: direka ulang dari tuturan ‘Ayu’ pada penulis

No comments: