Thursday, March 29, 2007

Perempuan dan Kespro > Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terabaikan: Ironi Pembangunan Indonesia

Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terabaikan:

Ironi Pembangunan Indonesia

“Kita ingin suatu dunia di mana ketidakadilan berdasarkan klas, gender dan ras tidak ada di tiap negeri dan di dalam hubungan antar negeri. Kita ingin suatu dunia di mana kebutuhan-kebutuhan dasar menjadi hak-hak dasar, dan di mana kemiskinan dan segala bentuk kekerasan dihapuskan. Tiap orang akan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri atau potensinya atau kreativitas, dan nilai-nilai alami serta solidaritas akan memberi watak dalam hubungan antar manusia. Dunia di mana peran reproduksi perempuan dirumuskan kembali: laki-laki lebih bertanggungjawab terhadap perilaku seksualnya, kesuburan dan kehidupan kedua pasangan. Perawatan anak-anak menjadi tanggungjawab laki-laki, perempuan dan masyarakat keseluruhan.” (DAWN’s vision)


Penduduk dan Pembangunan

Pertentangan antara persoalan seputar penduduk dan pembangunan bukan hal baru bagi kita. Pandangan Reverend Thomas Malthus mengenai laju pertumbuhan penduduk tidak pernah berubah secara mendasar sejak tahun 1789. Malthus memperlihatkan impak pertumbuhan penduduk terhadap ketersediaan pangan. Kemudian ide Malthus ini senantiasa mendominasi pemikiran di kalangan penentu kebijakan publik di banyak negara. Pada periode pasca Perang Dunia Kedua, ekonomi dunia mengalami kebangkrutannya, sehingga pengelolaan kependudukan menjadi perhatian utama kalangan penguasa.

Ilmuwan yang pro teori Malthus lalu membangun bukti-bukti ilmiah bahwa laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat akan memberi impak negatif terhadap kemampuan cadangan kekayaan negara, pembentukan modal dan investasi di sektor publik. Dengan ditemukannya metode kontrasepsi modern sejak 1960-an, maka dimulai upaya massif penjarangan, pembatasan dan penurunan jumlah penduduk di banyak negara (terutama negara-negara maju). Ketika Konferensi Kependudukan Dunia berlangsung di Bukares tahun 1974, panduan kebijakan publik siap mempromosikan kombinasi pertumbuhan ekonomi dan keluarga berencana oleh kalangan pemerintah maupun non-pemerintah.

Namun kalangan ilmuwan dan penentu kebijakan di negara-negara berkembang bangkit menentang kecenderungan neo-Malthus, dengan pandangan perlunya transformasi tatanan ekonomi dunia dan tanggungjawab terhadap kebutuhan dasar manusia. ‘Pembangunan merupakan kontrasepsi terbaik’ menjadi sikap dan posisi pandangan resmi negara-negara Selatan di dalam konferensi tersebut. Sepuluh tahun kemudian, kalangan ekonom neo-liberal juga mempertanyakan kerangka kerja neo-Malthus itu.

Perdebatan masalah kependudukan pada 1990-an meyakinkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di negara-negara Selatan menjadi akar kehancuran lingkungan hidup dunia. Sekali lagi, ini mendorong pembuat kebijakan menekankan bahwa kesuburan perempuan menjadi penghambat pembangunan. Hadirnya kekuatan-kekuatan lama dan suara-suara baru dalam Konferensi Internasional Pembangunan dan Kependudukan tahun 1994 beresiko memundurkan gerakan yang ada. Pandangan feminis berhasil mengubah substansi yang diajukan dalam Rencana Aksi Kependudukan Dunia tahun 1994, selain terus melakukan penentangan-penentangan. Perlawanan keras datang dari komunitas konservatif yang mengemukakan hak asasi manusia sebagai dasar penentangannya. Akan tetapi, beberapa dekade kemudian alasan-alasan politik dan agama justru yang melawan perempuan untuk menentukan kebebasan dirinya dan hak reproduksinya.

Gerakan feminis internasional mengenai hak-hak reproduksi perempuan secara terbuka melawan kekuatan-kekuatan agama yang konservatif. Kalangan feminis mengeritik kecenderungan untuk ‘menaturalisasi’ reproduksi, seksualitas dan keluarga. Kalangan feminis beranggapan bahwa keluarga bukan ‘enclave’ yang secara alami terpisah, melainkan femomena masyarakat yang beragam yang selalu bertransformasi. Mereka percaya bahwa gender dan keluarga adalah bentukan masyarakat, maka hal itu harus ditransformasi agar menjamin kesetaraan dan menyediakan landasan bagi penentuan reproduksi mandiri perempuan. Pembangunan yang didominasi kultur laki-laki pada gilirannya menjebak perempuan dalam gagasan-gagasan reproduksi, seksualitas dan keluarga, yang dikendalikan oleh negara.


Eksploitasi Seksualitas Perempuan

Dalam wacana seksualitas manusia, maka seksualitas perempuan menjadi hal penting untuk membicarakan masalah reproduksi. Kalangan feminis memandang bahwa seksualitas manusia dikonstruksi berdasarkan hubungan laki-laki dan perempuan, yang tidak setara, sehingga seluruh aspek kehidupan masyarakat juga mencerminkan ketidaksetaraan itu. Seksualitas bukan sekadar rangkaian naluri atau kebutuhan biologis (alat kelamin semata), melainkan bentuk interaksi sosial yang memberikan status dan peran sosial tertentu pada seseorang.

Dengan kerangka pemikiran ini, maka hak-hak perempuan untuk mengontrol tubuhnya sendiri menjadi sentral sifatnya. Pemikiran ini tentu saja mendapat tantangan yang keras di kalangan konservatif di masyarakat kita (Indonesia). Ada anggapan bahwa kita harus mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi (individu), sehingga pribadi wajib menaatinya. Seksualitas perempuan harus ditempatkan pada kepentingan umum, sehingga ketika negara atau pemerintah menerapkan sistem keluarga berencana, maka kalangan perempuan wajib melakukannya. Meskipun, pada akhirnya, kalangan perempuan menjadi sasaran eksploitasi berbagai kepentingan negara atau pemerintah ini.

Eksploitasi seksualitas perempuan tak hanya menguat di kalangan pemerintah, dengan program keluarga berencananya itu, tetapi juga di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis agama. Mereka mengisolasi perempuan dari kehidupan publik. Mereka menggunakan tubuh perempuan sebagai ‘medan pertempuran’ untuk meraih kekuasaan politik negara. Kalangan feminis melihat secara sederhana bahwa reproduksi manusia melalui ‘tubuh’ perempuan. Karena itu, lembaga agama dan budaya serta kependudukan meletakkan dasar kegiatannya melalui sistem gender yang ada. Dalam masyarakat manusia, kehidupan sehari-hari perempuan penting untuk memberi makan, pakaian dan kebutuhan keluarganya, yang menjamin keberlanjutan komunitasnya. Kenyataan ini merupakan jabaran dari pembagian kerja berbasis gender yang beranggapan bahwa tanggungjawab reproduksi membentuk perluasan biologis perempuan, sehingga perempuan kehilangan otonominya untuk menentukan secara mandiri keputusan atas tubuhnya dan seksualitasnya.

Kebijakan Pengelolaan Kesuburan

Dalam budaya masyarakat pertanian dan masyarakat nomaden terdapat tatacara pengaturan untuk meningkatkan dan menurunkan kesuburan, sebagai strategi keseimbangan ukuran komunitas mereka yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya di sekitarnya. Bukti-bukti sejarah menjelaskan bahwa norma-norma pra modern dan aturan-aturan itu dirancang untuk mengintervensi persoalan reproduksi. Dan kini, program kependudukan pemerintah bukanlah hal baru. Yang baru hanyalah jangkauan intervensi program semakin luas. Sejak abad 18, ketika kekuatan ekonomi ditata ulang oleh kapitalisme industrial, maka hubungan negara-masyarakat ditransformasi dan isu-isu privat menjadi sasaran kepentingan publik pula.

Contoh modern pertama intervensi negara secara langsung yaitu menjadikan kesuburan perempuan sebagai kebijakan pengelolaan publik. Kebijakan keluarga berencana sebagai sarana pengendali penduduk menjadi bukti bagaimana ruang privat perempuan dijadikan sasaran kebijakan. Tidak dilihat, bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan keputusan atas tubuhnya atau kesuburannya. Kalangan feminis menganggap bahwa pratik pengendalian kesuburan perempuan untuk kepentingan kependudukan oleh negara adalah bentuk nyata pelanggaran hak asasi manusia.

Di Indonesia, persoalan hak-hak reproduksi perempuan belum menjadi pokok perhatian yang serius. Terdapat sejumlah hak reproduksi yang sudah menjadi kesepakatan secara internasional, yang jarang dipahami masyarakat, yakni:

  1. Hak integritas fisik
  2. Hak atas pemilihan jodoh
  3. Hak dalam melakukan hubungan seks
  4. Hak menentukan kelahiran
  5. Hak atas pelayanan aborsi yang aman
  6. Hak atas kehamilan dan melahirkan yang aman
  7. Hak atas pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai

Praktik-praktik pelanggaran terhadap integritas fisik dan pengasingan perempuan dari kapasitas seksual dan reproduktifnya, juga terdapat pada persoalan yang berhubungan dengan hak-hak perempuan untuk memilih jodohnya, dan hak melakukan hubungan seks yang bebas dari stigma apapun. Begitupun hak perempuan untuk hamil dan melahirkan dalam keadaan sehat, aman, dan layak, justru harus difasilitasi oleh negara.

Dalam konteks makro, kebijakan dan implementasinya, jelas berdampak terhadap kondisi reproduktif perempuan. Di tingkat mikro, masalah itu tak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan sekitarnya. Masalahnya, keterkaitan tersebut jarang disadari masyarakat, bahkan oleh kalangan perempuan itu sendiri. Akibatnya, perempuan harus bertanggungjawab terhadap persoalan reproduktifnya. Dan, pembangunan sendiri telah melahirkan berbagai pertentangan bagi perempuan di Indonesia terpaut dengan hak-hak reproduktifnya. (HG)

No comments: