Thursday, March 29, 2007

Perlawanan Perempuan > Gerakan Perempuan Indonesia, Tanya Kenapa

Gerakan Perempuan Indonesia, Tanya Kenapa?

kemerdekaan

jika ia matahari, memang kemerdekaan

adalah matahari, bukan bulan

indah sekalipun di waktu malam


jika ia butir nasi, memang kemerdekaan

butir nasi di piring jendral atau peminta minta

yang menghidupi hasrat untuk hidup

jika ia atap rumah memang kemerdekaan

atap vila atau gubuk kardus

yang keduanya meneduhi kebangkitan

satu hitam

satu putih

satu seribu warna kehilangan nama

jika ia buah memang kemerdekaan

buah yang harus direbut

penanamnya sekalipun

jika ia rantai memang kemerdekaan

adalah rantai yang mengikat kesetiaan

(Putu Oka Sukanta dalam buku “Selat Bali: Sajak-sajak buat Burung Camar”, Inkultra Foundation, 1982)

Konteks sejarah

Perempuan Indonesia memulai eksistensi gerakannya dalam proses kebangkitan nasional Indonesia. Pada akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia mulai berubah secara drastis, sebagai kaum terpelajar baru untuk pegawai pribumi, membangun berbagai organisasi nasionalis yang pertama. Sementara itu, sejumlah organisasi perempuan pertama juga didirikan, yang mengidentifikasi dengan kepentingan gender tertentu sebagai perhatian utama mereka. Dalam tahun 1928 Kongres Wanita Pertama menyebarluaskan berbagai kepentingan itu, dan untuk pertama kalinya berkumpul bersama berbagai organisasi perempuan.

Menjelang abad ke-20, sistem tanam paksa telah menimbulkan bencana hebat, hingga kelaparan melanda daerah pedalaman Jawa. Petani diwajibkan menghasilkan hasil tanaman yang langsung untuk pasar kolonial. Ini membawa berbagai akibat politik yang luas. Petani menjadi renggang dari tuan tanah mereka, yang telah dibikin menjadi sandaran sistem tanam paksa untuk mengeksploitasi mereka. Elit pedesaan memperkokoh posisinya, sementara itu jumlah petani tak bertanah semakin membengkak. Sekolah dan masuk birokrasi kolonial menjadi lebih penting ketimbang penguasaan hak milik perseorangan dalam bentuk tanah.

Kesempatan pendidikan tersebut diambil anak-anak priyayi rendah dan elit desa yang mapan tetap menjauhi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Elit terpelajar tersebut kemudian menjadi tulang punggung gerakan nasional, yang menggunakan nilai-nilai kemerdekaan, pernyataan diri dan keadilan sosial yang baru untuk mengeritik situasi kolonial.

Berlakunya politik etis berarti meningkatnya campur tangan negara kolonial dalam urusan ekonomi dan mengakhiri liberalisme sebelumnya. Rencana ini dibarengi dengan program yang ambisius dalam pendidikan, prasarana irigasi, hukum dan kesejahteraan rakyat jajahan. Pulau-pulau luar Jawa menjadi sumber penghasil utama tanaman ekspor (tembakau, karet) dan bahan-bahan mentah (minyak, batu bara, timah). Politik kesejahteraan tanah jajahan ini tidak bertahan lama dan tak bermanfaat bagi rakyat di Jawa.

Gerakan emansipasi pra-1928 jauh lebih beragam dari arti kata “nasionalisme”. Alasan-alasan ekonomi dan agama lebih terasa. Masyarakat secara menyeluruh sedang bergerak menuju pembaruan; nasionalisme hanya sebagai penyebut untuk semua itu. Hapusnya pemerintahan kolonial menjadi panji-panji yang dikibarkan berbagai kelompok yang aneka macam, seperti kaum bangsawan, kelas menengah yang sedang tumbuh, saudagar Muslim, petani, dan perempuan dari berbagai kelompok sosio-ekonomi.

Gerakan luas untuk pembaruan sosial ini terdiri atas 4 aliran penting yang saling berkait:

· Nasionalisme gaya Eropa terutama dari lapisan atas dan menengah terpelajar

· Pembaru Islam

· Sosialisme

· Emansipasi perempuan

Perkembangan sosio-historis menjelang abad ke-20, seperti meluasnya Islam di Indonesia, dalam banyak hal berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Dampak moralitas burjuis ‘Victorian’ atas hubungan seksual di Indonesia tampak dari ketidaksenangan Belanda terhadap kebebasan seksual yang berakar di Hindu, yang terbukti di kuil-kuil Hindu tertentu. Usaha mempengaruhi seksualitas bangsa Indonesia terutama dipusatkan pada bupati, yang kedudukannya sangat mereka perkuat. Kebebasan seksual laki-laki berarti perceraian sepihak, poligini, pergundikan, dan perkawinan dengan anak-anak perempuan. Perempuan Indonesia menanggung penderitaan dari hubungan-hubungan seksual yang sederajat, yang mendapat pembenarannya baik oleh hukum adat maupun hukum Islam. Berbagai organisasi perempuan awal abad ke-20 memprotes praktik-praktik demikian (perkawinan anak-anak dan perkawinan paksa).

Kartini bukan satu-satunya perempuan Indonesia yang berbicara melawan ketidakadilan dalam awal abad ke-20. Masalah yang mereka identifikasi sebagai paling berat bagi perempuan ialah:

  • Pendidikan untuk perempuan
  • Perbaikan perkawinan (penghapusan perkawinan anak dan permaduan)
  • Menentang pelacuran
  • Memberi kesempatan lebih luas untuk perempuan tampil di depan umum
  • Pendidikan seks
  • Upah sama untuk pekerjaan yang sama
  • Perbaikan keadaan penghidupan petani
  • Pendidikan untuk perempuan tani

Pada 1920-an untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, perempuan bergerak di sekitar kepentingan gender mereka. Mereka mengambil bentuk masalah sosio-kultural perempuan, dan mengorganisir diri di atas dasar keagamaan dan daerah serta gerakan politik yang penting saat itu. Berbagai sekolah perempuan didirikan dan sejumlah majalah diterbitkan, serangkaian aksi atas nama perempuan buruh dan pelacur dilancarkan.

Organisasi formal perempuan pertama yang berdiri yakni Putri Mardika, didirikan di Jakarta tahun 1912. Organisasi ini memperjuangkan pendidikan untuk perempuan, mendorong perempuan lebih tampil di depan umum, mengangkat perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki. Antara tahun 1913-1915 berdiri berbagai organisasi perempuan di Jawa dan Minangkabau. Mereka mendobrak kungkungan rumah tangga. Perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama yang penting saat itu. Pada tahun 1918 bagian kewanitaan Sarekat Islam dirintis oleh Siti Fatimah di Garut. Pada 1920 berdiri sebuah perkumpulan di Yogyakarta bernama Wanita Utama. Kemudian berdiri organisasi perempuan sosialis sekitar 1920-an. Tahun 1924 Wanita Katolik didirikan di Yogyakarta. Organisasi ini membuka kursus baca-tulis untuk para buruh perempuan.

Tahun 1928, dilaksanakan Kongres Wanita se-Indonesia mengawali suatu tradisi kerjasama antara berbagai organisasi perempuan, yang tetap hidup hingga sekarang. Namun demikian, kongres yang penting ini juga menandai sejumlah pergeseran penting, dalam cara-cara kaum perempuan Indonesia merumuskan kepentingan gender mereka. Semua organisasi sepakat bahwa pembaruan dalam perkawinan diperlukan, namun dalam soal monogamy, golongan Islam berbeda dengan golongan sekular dan Kristen. Pada 1933 berdiri Mardi Wanita, sebuah organisasi perempuan politik yang lebih radikal. Sebelumnya, tahun 1929 berlangsung kongres perempuan ke-2 di Jakarta yang dihadiri sekitar 50 puluh organisasi perempuan. Pada 1932 berdiri Isteri Sedar yang menyerukan agar kaum perempuan Indonesia terjun dalam perjuangan untuk kemerdekaan nasional. Tahun 1942 Jepang mendirikan organisasi perempuan bentukannya yang bernama “Barisan Putri Asia Raya”. Jepang membubarkan semua organisasi sebelum perang.

Walau selama perjuangan nasional gerakan perempuan telah mencapai momen kesatuan yang tinggi, namun kesatuan ini tidak dicapai atas dasar perjuangan bersama demi kepentingan perempuan. Ketegangan hubungan antara organisasi perempuan Muslim dan non-Muslim semasa perang tak dapat diredam. Kaum perempuan terjun dalam perjuangan nasional atas dasar tanggungjawab yang sama, tapi di bawah persyaratan yang tidak sama. Dalam rangka kepentingan persatuan nasional, perjuangan melawan seksisme laki-laki telah diabaikan.

Kemerdekaan nasional memberi hak-hak politik dan hukum tertentu pada perempuan Indonesia, namun tidak menghapus struktur patriarkhi. Sesudah kemerdekaan organisasi-organisasi itu menyatakan kepentingan-kepentingan mereka sebagai perluasan soal-soal kerumahtanggaan: pembrantasan buta huruf, penyembuhan penyakit sosial, kesusilaan masyarakat dan semacamnya. Perempuan sudah merasa puas apabila kesamaan hak-hak politik telah tercapai. Penghancuran gerakan perempuan radikal masa 1965 menjadi titik penting kemunduran perjuangan perempuan dalam banyak bidang. Kuatnya dominasi negara di masa Orde Baru semakin meminggirkan gerakan perempuan di tepi jurang kehancurannya. Sekitar tahun 1980-an menguat kembali gagasan feminisme di kalangan muda perempuan kota dan terdidik untuk melawan dominasi negara atas perempuan. Namun kaum muda ini tak pernah berhimpun dalam suatu organisasi sosial politik manapun. Mereka tersebar dalam wadah-wadah semacam organisasi non-pemerintah (ornop), yang punya prinsip non-partisan. Akibatnya, tak ada lagi gerakan massa perempuan.


Visi, Strategi, dan Metode alternatif

Pengalaman bekerja di organisasi akar rumput dan kelompok-kelompok perempuan membawa kita pada kenyataan mendasar. Pertama, kesadaran dan etika kita kini perlu dikristalisasi menjadi suatu visi yang jelas mengenai apa yang kita kehendaki terjadi pada masyarakat, dan apa yang kita inginkan dari perempuan. Perempuan juga memerlukan strategi yang membawanya dari sini ke sana, membawa mereka melampaui dekade saat mana perempuan mulai menyadari tugas-tugas yang ditetapkan sebelumnya, juga kedalaman kekuatan dan potensi. Akhirnya, kita memerlukan metode untuk mengaktualisasikan visi dan strategi kita. Ini menjadi tema kuat gerakan perempuan modern di mana sasaran, metode, hasil akhir dan sarana saling terkait erat. Refleksi atas sarana dan metode menjadi vital.

Kita menginginkan suatu dunia di mana ketidakadilan berdasarkan klas, gender, dan ras lenyap dari tiap negeri, dan dari hubungan antar negeri. Kita menginginkan suatu dunia di mana kebutuhan dasar menjadi hak-hak dasar dan di mana kemiskinan serta segala bentuk kekerasan dihapuskan. Dengan kata singkat, tiap orang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya secara penuh, dan nilai solidaritas dan kebersamaan perempuan menjadi hubungan nilai kemanusiaan. Peran reproduktif perempuan hendaknya dirumuskan ulang: peran perawatan anak-anak juga dikerjakan oleh laki-laki, perempuan dan masyarakat keseluruhan. Kita menghendaki dunia di mana sumberdaya massif yang dipergunakan untuk tujuan penghancuran dipakai untuk keperluan pemulihan lingkungan. Revolusi teknologi ini harusnya menghapuskan penyakit dan kelaparan serta memberikan perempuan sarana aman untuk mengendalikan kesuburan mereka. Kita menghendaki dunia di mana semua lembaga terbuka bagi partisipasi demokratis, di mana perempuan berbagi dalam menentukan prioritas dan pembuatan keputusan.

Peningkatan kesempatan perempuan memerlukan strategi jangka panjang yang sistematis, dengan tujuan mengubah struktur dan membangun akuntabilitas pemerintahan, sehingga rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan. Dalam strategi jangka panjang, kita akan mematahkan struktur ketimpangan gender, klas dan bangsa dengan tindakan yang melampaui batas-batas hambatan agar proses tanggungjawab atas kebutuhan rakyat berjalan baik. Persyaratan untuk perubahan bangsa secara fundamental ialah pembebasan bangsa dari dominasi kolonial, memandirikan bangsa paling tidak dalam hal energi, pangan, pendidikan, kesehatan, air bersih. Hal lainnya mencakup bentuk strategi ekspor dalam bidang pertanian dan industri dan kendali lebih besar atas kegiatan perusahaan-perusahaan multi-nasional, kemungkinan strategi pembaruan sumberdaya untuk kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. (HG)

Sumber bacaan:

  1. Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan, Kalyanamitra dan Garba Budaya, Jakarta, Agustus 1999.
  2. ISIS Women’s Journal No.6, Women, Struggles and Strategies, Rome, 1986.

No comments: