Pendidikan dan Reproduksi Sosial
Sistem pendidikan merupakan salah satu cara paling berkuasa negara dalam mencampuri proses reproduksi hubungan-hubungan sosial suatu “relasi produksi”. Campuran pengaruh gender dan klas sosial di sekolah-sekolah menjadi perhatian utama teori feminis. Hal itu terdapat di dalam kebijakan dan praktik pendidikan. Dan di sekolah pula, peran keluarga bagi perempuan terbuktikan daripada secara langsung di dalam kebijakan-kebijakan masyarakat.
Pengalaman-pengalaman di sekolah adalah faktor kunci bagaimana perempuan dialokasikan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu. Sistem pendidikan membutuhkan ujian-ujian tak hanya untuk kepentingannya, melainkan dalam kaitan keluarga, yang mendukung dan menghasilkan hal itu. Kita pun perlu memperhatikan tanggapan sistem pendidikan terhadap perubahan tuntutan pasar bagi tenaga kerja perempuan sebagaimana tuntutan perubahan oleh gerakan feminis. Kedua tekanan ini telah menjadi pusat perhatian diskusi-diskusi di kalangan masyarakat, begitu pun oleh kalangan pemerintah dan tampak dalam laporan-laporan. Dokumen-dokumen yang ada mencerminkan ketegangan yang bertentangan antara sistem pendidikan dan upaya penghapusan praktik diskriminasi di sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan yang “realistis” bagi perempuan yang tepat dengan peran kedewasaan mereka.
Teori dan praktik feminis menaruh perhatian serius bahwa sekolah berperan penting dalam mereproduksi subordinasi terhadap perempuan. Sistem pendidikan telah mengalami perlawanan atas perlakuannya yang seksis, begitu pun “kurikulum tersembunyi” di sekolah-sekolah. Namun, kritisisme ini umumnya terjadi terpisah dari teorisasi keluarga. Berbarengan dengan itu, sosiologi pendidikan baru yang berkembang lebih terpusat pada organisasi dan distribusi pengetahuan, budaya, dan ideology, dengan memperhatikan aspek reproduksi struktur klas (klas buruh khususnya), pada nilai hubungan perempuan dan laki-laki. Berbagai pandangan tersebut perlu dijabarkan bersama-sama. Suatu teori yang tepat mengenai keterkaitan di antara berbagai proses reproduksi sosial itu, memerlukan penyelidikan empirik.
Reproduksi sosial menuntut suatu proses legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah dicanangkan melalui suatu ingatan bahwa ‘bahkan di kalangan penduduk…kekuatan sosial terlihat dalam bentuk pertukaran ekonomis, dan karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara jujur…mekanisme distribusi kesempatan hidup’ (Habermas). Sejumlah penulis berpendapat bahwa ideologi “balas jasa” telah menempatkan dirinya sebagai ‘tema’ yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian, upaya perorangan, keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian rumusan kemampuan dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang maju.
Hal itu memerlukan suatu keluwesan dalam hubungannya dengan sistem pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang cocok dengan jenis pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan dengan melibatkan karakter kepribadian menjadi pernilaian.
Tentu saja proses ini selalu terjadi, namun kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat kerja. Proses ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan akan keterampilan-keterampilan di berbagai pangsa pasar kerja yang berbeda-beda. Proses tersebut terpaut langsung dengan kebutuhan perkembangan keterampilan-keterampilan pribadi dalam berbagai segmen pasar kerja. Sebagai isi ideologi yang selalu berubah—kumpulan gagasan yang secara aktif promosinya disahkan—terjadi perubahan di dalam praktik sosial yang menguatkan pengetahuan dunia sosial.
Kaum feminis meneorikan hal tersebut, dengan memetik pendapat Althusser mengenai aparat ideologi. Menurutnya, terdapat berbagai jenis aparat ideologi, misalnya media, serikat kerja, partai politik, sekolah, gereja dan keluarga. Semua itu dirumuskan sebagai bagian dari negara, karena kontribusinya terhadap kohesi sosial. Pengarakterkan keluarga sebagai aparat ideologi negara juga mengaburkan hubungan yang represif, aspek yuridis negara dalam relasi kekeluargaan: melalui pernikahan dan hukum perceraian, kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan anak, dan pembagian serta penarikan keuntungan ‘kemakmuran’, yang bergantung pada kondisi lingkungannya.
Tak hanya sebatas itu, relasi dan praktik sosial juga suatu bentukan ideologis dan melayani kepentingan alami ideologi bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan penting dalam analisa reproduksi sosial yang menitik-beratkan ideologi, sebagai kumpulan gagasan yang tak terpisahkan dari praktik sosial. Althusser tidak mempertimbangkan persoalan mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi dan lembaga. Althusser betul ketika beranggapan bahwa kompleks sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk mereproduksi relasi sosial suatu produksi. Namun dari sudut pandang feminis, justru penting mencari jalan keluar dari berbagai pertentangan itu daripada sekadar menganalisa kompleks ‘sekolah-keluarga’, yang saling menekan satu sama lain dalam rangka mempersiapkan orang masuk ke pasar kerja.
Kompleks ‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang menentukan bagi reproduksi sosial ‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun demikian, lembaga keluarga dan sistem pendidikan hanya institusi pedagogis, dan diyakini demikian. Tak hanya keluarga atau sekolah sebagai lembaga yang meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi juga ideologi berkuasa keluarga dan sistem pendidikan menjadi tempat bagi pembelajaran dan sosialisasinya.
Pembagian kerja laki-laki dan perempuan sebagai hasil proses produksi kapitalis melibatkan konsep diri ‘orangtua’ yang dibetuk dalam relasi pembagian kerja tersebut. Sehingga, ibu yang merumuskan dirinya sebagai pekerja rumah tangga, membiarkan cap pembedaan peran seks itu atas diri anak-anaknya. (HG)
No comments:
Post a Comment