(Nawal El Saadawi, “Perempuan dalam Budaya Patriakhi”)
Akar-akar sejarah dominasi
Penindasan terhadap perempuan tidak ditentukan semuanya secara biologis. Perbedaan seksual adalah kenyataan biologis yang ada, namun penindasan dan diskriminasi tidak selalu bisa dilekatkan begitu saja pada berbagai perbedaan tersebut. Asal-usul penindasan terhadap perempuan dasar karakternya lebih bersifat ekonomis dan sosial. Melalui proses panjang evolusi sosial dari masyarakat pra klas menjadi masyarakat berkelas, fungsi melahirkan perempuan senantiasa tak berubah. Sementara peran sosial perempuan telah berubah, dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Status perempuan tidak diturunkan menjadi pelayanan keluarga atau rumah tangga, atau menjadi sasaran penguasaan dan kendali laki-laki.
Sebelum terbentuk perkembangan kelas di dalam masyarakat, sepanjang periode masyarakat memungut-berburu, produksi masyarakat diorganisir secara komunal dan hasil produksinya dibagikan secara adil. Tidak berarti, bahwa tugas-tugas tidak dilaksanakan oleh berbagai sub-kelompok berdasarkan usia, gender, dan lainnya di dalam kelompok masyarakat yang besar. Dan itu berarti, tak ada eksploitasi dan penindasan suatu sub-kelompok oleh kelompok lainnya. Tidak ada basis material untuk munculnya hubungan sosial yang eksploitatif. Kedua jenis kelamin berpartisipasi dalam produksi masyarakat, membantu memastikan keberlanjutan dan ketahan hidup semuanya. Status sosial laki-laki dan perempuan tercerminkan dari peran tak tergantikan yang dimainkan oleh masing-masing jenis kelamin dalam proses kelangsungan hidup untuk semua. Pembedaan sosial ini tidak terkait dengan persoalan ketidakadilan.
Penindasan perempuan dan masyarakat berkelas
Asal-usul penindasan perempuan terlekat dengan transisi masyarakat tak berklas ke masyarakat berklas. Proses transisi ini memang senantiasa menjadi pokok diskusi dan penelitian di kalangan mereka yang melihatnya dari perspektif sejarah. Namun demikian, benang merah yang mendasari penindasan terhadap perempuan menjadi jelas. Perubahan status perempuan berkembang berbarengan produktivitas kerja manusia yang berbasis pertanian, pemeliharaan ternak, penyediaan pangan, munculnya pembagian kerja baru, kerajinan, dan perdagangan; penghargaan pribadi terhadap peningkatan dan kemapanan nilai lebih secara ekonomis, serta kemungkinan perkembangan bagi sebagian orang untuk menikmati penindasan atas tenaga kerja lainnya.
Dalam kondisi sosio-ekonomis yang khusus demikian, penghisapan atas manusia kemudian menjadi keuntungan pribadi bagi sebagian orang, maka perempuan karena peran biologisnya di dalam produksi (misalnya, produksi masyarakat untuk mengelola perkembangan generasi penerus dan produksi mereka untuk generasi selanjutnya), menjadi hak milik yang sangat berharga. Sebagaimana budak dan ternak domba, perempuan menjadi sumber kemakmuran. Perempuan mampu memproduksi manusia yang tenaga kerjanya kelak dapat dieksploitasi. Karenanya, pembelian perempuan oleh laki-laki, sepanjang terkait dengan berbagai hak mereka akan masa depan yang kelam, muncul sebagai salah satu lembaga sosial dan ekonomi tatanan baru yang didasarkan atas kepemilikan pribadi. Peran sosial dasar perempuan dirumuskan semakin berkembang sebagai pembantu rumah tangga dan pengasuh anak.
Bersamaan dengan akumulasi kekayaan pribadi, unit keluarga dikembangkan sebagai lembaga yang harus bertanggungjawab terhadap anggota keluarga/masyarakat yang tidak produktif, khususnya kaum muda, diubah-alih dari masyarakat keseluruhan menjadi individu yang bisa diidentifikasi atau sebagai kelompok kecil individu. Ini merupakan lembaga sosio-ekonomis yang paling mendasar bagi pengalihan dari satu generasi ke pembagian masyarakat berklas berikutnya; pembagian di antara mereka yang memiliki harta kekayaan dan kemakmuran hidup yang dihasilkan oleh kaum buruh lainnya, dan mereka yang tak berpunya, yang harus bekerja untuk kehidupan orang lain. Penghancuran keadaan egaliter dan tradisi komunal serta struktur purba komunisme adalah penting bagi kebangkitan klas tereksploitasi dan percepatan akumulasi kekayaan pribadi.
Sistem keluarga
Dalam kenyataannya, kata keluarga itu sendiri, yang dipergunakan dari asal kata bahasa Latin, yaitu famulus, yang artinya pembantu rumah tangga; dan kata familia, artinya budak yang menjadi milik seorang laki-laki.
Penindasan perempuan dilembagakan melalui sistem keluarga atau famili. Perempuan disingkirkan dari ruang kebebasannya dalam produksi masyarakat. Peran produktif mereka ditentukan oleh keluarga di mana mereka termiliki; oleh laki-laki yang mensubordinasi mereka. Ketergantungan ekonomis ini menentukan status klas-dua perempuan, di mana keberpaduan dan keberlanjutan keluarga senantiasa bergantung. Apabila perempuan dapat mudah membawa pergi anak-anak mereka, tanpa merasakan penderitaan dan kesulitan sosial ekonomis, maka keluarga tidak mungkin bisa bertahan hingga abad ini.
Keluarga dan pengrendahan perempuan eksis berbarengan dengan berbagai lembaga yang melahirkan klas masyarakat dalam rangka menjaga pembagian klas dan pengelolaan akumulasi kekayaan pribadi. Negara, dengan aparat polisi dan tentaranya, hukum dan pengadilan, menekan hubungan tersebut. Ideologi klas penguasa muncul di atas dasar ini dan memiliki peran penting dalam penurunan derajat seks perempuan. Lalu perempuan dikatakan secara fisik dan mental lebih rendah dari laki-laki, sehingga secara ‘alamiah’ atau biologis menjadi seks kedua (second sex). Sementara pengrendahan perempuan melahirkan berbagai konsekuensi bagi perempuan dalam klas-klas sosial yang ada; semua perempuan tanpa kaitan klas ditindas, sebagai dari jenis kelamin perempuan.
Tak ada lembaga lain dalam masyarakat yang perannya sungguh-sungguh tersembunyi dan penuh prasangka serta mistifikasi daripada keluarga. Kaum borjuis moralis membenarkan bahwa keluarga adalah basis alamiah dan moral kesatuan suatu masyarakat. Kalangan antropolog borjuis menguatkan mitos bahwa kesatuan dalam keluarga senantiasa eksis. Mereka menolak kenyataan bahwa keluarga berasal dan mengalir dari perkembangan kepemilikan pribadi, klas masyarakat dan negara. Secara kabur ada kenyataan bahwa dalam masyarakat pra klas unit dasar masyarakatnya ialah ‘klan’ dan di dalam klan kebutuhan terbagi secara merata. Struktur klan tidak sama dengan system keluarga, yang didasarkan atas ikatan kontrak perkawinan yang sah yang memungkin peralihan kepemilikan pribadi.
Sepanjang sejarah klas masyarakat, sistem keluarga membuktikan nilai-nilainya sebagai lembaga klas yang berkuasa. Bentuk keluarga diciptakan dan disesuaikan dengan kebutuhan klas penguasa yang berubah-ubah, sebagai moda produksi dan bentuk kepemilikan pribadi yang terjadi di tiap tahap perkembangan. Sistem keluarga dalam masyarakat perbudakan klasik jelas berbeda dengan sistem keluarga dalam sistem feudalisme. Dalam masyarakat perbudakan klasik, lembaga keluarga ditentukan oleh klas si pemilik budak (tak ada sistem keluarga di kalangan budak). Dalam feudalisme, sistem keluarga diperluas menjadi klas pekerja, majikan yang memiliki sejumlah sarana produksi (sebidang tanah, binatang, dan peralatan tangan), dan menjadi unit terkecil melalui mana produksi masyarakat dilakukan. Secara kontras, juga keluarga ‘inti’ di perkotaan saat ini telah menjadi unit produksi masyarakat yang terkecil.
Lebih dari itu, sistem keluarga secara bersamaan memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomis yang berbeda dalam acuan klas-klas dengan peran produktif dan hak kepemilikan yang kepentingannya berlawanan satu sama lain. Sebagai contoh, ‘keluarga’ pekerja dan ‘keluarga’ tuan tanah, merupakan unit sosio-ekonomis yang saling berbeda. Namun demikian, keduanya adalah bagian dari sistem keluarga, lembaga klas penguasa yang memainkan peran tak terbatas pada tiap tahap dalam sejarah masyarakat berklas.
Perpecahan keluarga di dalam sistem kapitalisme membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi manusia, karena tak ada kerangka kerja hubungan antar manusia yang baru yang lahir dari sistem tersebut. Dalam masyarakat berklas, keluarga hanyalah lembaga di mana orang bisa kembali mencari kepuasan atas sebagian kebutuhan dasarnya, termasuk cinta dan persahabatan. Hal ini menjadi benar buat mereka yang benar-benar secara rasial, etnis, dan sebagainya ditindas. Bagaimanapun keluarga harus memenuhi kebutuhan demikian, karena tak ada pilihan nyata selama masyarakat berklas ada. Dengan demikian, tujuan utama keluarga bukan untuk menyediakan berbagai kebutuhan dasar tersebut. Keluarga lebih sebagai lembaga ekonomis dan sosial yang berfungsi sebagai berikut:
· Keluarga adalah mekanisme dasar di mana klas berkuasa merampas tanggungjawab sosial kehidupan ekonomis mereka yang menjadi tenaga kerja yang tereksploitasi—
· Sistem keluarga menyediakan sarana penyaluran kepemilikan pribadi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini adalah mekanisme sosial dasar untuk melanggengkan pembagian masyarakat menjadi klas-klas.
· Untuk klas berkuasa, sistem keluarga menyediakan mekanisme penerimaan ideologis untuk memproduksi tenaga kerja manusia. Menciptakan tanggungjawab keluarga untuk merawat kaum muda berarti porsi masyarakat guna mengakumulasi kekayaan, yang dirampas sebagai kepemilikan pribadi, untuk memperkuat produksi klas pekerja yang semakin dikurangi. Lebih jauh, kenyataannya bahwa tiap keluarga adalah unit terkecil, mempertahankan perjuangan hidupnya, menghalangi kaum tertindas dan tereksploitasi untuk melakukan aksi bersama.
· Sistem keluarga mempertahankan pembagian kerja sosial di mana perempuan secara mendasar dirumuskan melalui peran melahirkan dan merawat anak dan terikat tugas secara langsung dengan fungsi reproduksi tersebut—memperhatikan seluruh anggota keluarganya. Dengan begitu, lembaga keluarga terletak pada dan mempertahankan pembagian kerja yang melibatkan pengrendahan secara domestik dan ketergantungan ekonomis bagi perempuan.
Persoalan patriarkhi
Patriarkhi (berasal dari bahasa Yunani: patria berari bapak, dan arche berarti aturan) merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka, maka makin kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut. Istilah patriarkhi juga dipergunakan dalam sistem tingkat-tingkatan kepemimpinan laki-laki dalam hirarki gereja atau lembaga agama.
Istilah ‘patriarkhi’ berbeda arti dengan patrilineal dan patrilokalitas. Patrilineal merumuskan suatu masyarakat di mana pewarisan kekayaan (finansial atau lainnya) berasal dari garis bapak. Patrilokalitas merumuskan bahwa suatu lokus kendali datang dari wilayah bapak dan budaya komunitas. Dalam suatu masyarakat yang matrialineal atau matrilokal, seorang perempuan akan hidup dengan ibu dan saudara perempuannya serta kakak laki-lakinya, bahkan setelah menikah.
Budaya patriarkhis ini berkembang pasti dalam berbagai lembaga hingga kini. Lembaga agama, pendidikan, ekonomi dan lainnya mempertahankan praktik patriarkhis ini. Dalam masyarakat muslim, patriarkhi dalam bentuk pembagian peran antara perempuan dan laki-laki kedalam lingkup domestik dan sosial secara nyata terlihat. Di Amerika dan Eropa di mana budayanya didasarkan atas model Kristiani, kekuasaan agama dan politik pengaruh kuatnya berlanjut hingga kini. Ide-ide Abad Pencerahan, gerakan-gerakan revolusioner termasuk gerakan feminisme telah menghadirkan kesempatan perubahan bagi perempuan dan laki-laki.
Menurut kalangan feminis, patriarkhi terlihat dari pengorganisasian masyarakat berdasarkan keunggulan tokoh seorang laki-laki, kelompok laki-laki atau kaum lelaki secara umum. Mereka juga melihat patriarkhi sebagai sistem nilai yang berkuasa atas hidup, pengendali kenikmatan, dan dominasi atas kebahagiaan. Karena itu, menjadi laki-laki yang baik memang merupakan persoalan patriarkhis tersendiri! (HG)
No comments:
Post a Comment