Thursday, March 29, 2007

Perlawanan Perempuan > Persoalan Teori dan Praktik Feminis

Persoalan Teori dan Praktik Feminis

Tujuan pemberdayaan perempuan memperlihatkan kepada kalangan feminis mengenai kebutuhan untuk menjawab berbagai bentuk penindasan, namun tidak dijelaskan bagaimana caranya semua itu harus diselesaikan. Terdapat berbagai persoalan untuk menghubungkan antara teori dan praktik feminis. Pertama, pembagian material di antara kita, bahwa perempuan membangun pandangan kebebasannya dari titik-pijakan yang beragam. Kita tak hanya memiliki titik-pijakan sebagai perempuan, namun juga sebagai anggota klas masyarakat yang berbeda-beda. Perempuan petani, perempuan kulit hitam, perempuan klas pekerja kulit hitam, perempuan lesbi klas menengah, memiliki identitas kepentingan tertentu dalam pembebasannya. Sepanjang perempuan memiliki titik-pijakan klas yang saling berbeda dalam isu-isu yang menentukan itu, dan tetap terkotak dalam masalah ras, budaya, seksualitas, maka tidak akan ada kesepakatan di atas mana kebebasan tersebut hendak didirikan.

Kedua, konsep kebebasan juga sangat bergantung pada apa pandangan kita mengenai hubungan di antara berbagai sumber kekuasaan yang ada, seperti antara moda produksi dan sistem seks atau gender yang patriarkhis. Perkembangan feminisme menunjukkan bahwa perempuan tidak bisa dijadikan satu kategori tersendiri, dengan demikian saling keterkaitan sumber pembagian di kalangan perempuan harus diidentifikasi. Akan tetapi, feminisme juga memperlihatkan kesulitan menyatukan kaitan antara berbagai sumber kekuasaan yang ada. Kita perlu mengidentifikasi dan memperjelas ideologi yang mengesahkan berbagai bentuk kekuasaan itu. Cara bagaimana moda produksi bertaut dengan sistem patriarkhi dan dominasi rasial adalah sangat rumit dan begitu dimistifikasi. Sepanjang keterkaitan tersebut mengacaukan, maka sulit bagi perempuan untuk mengorganisir prioritas politik mereka.

Ketiga, terjadi perpecahan di kalangan gerakan feminis mengenai apakah perempuan dan laki-laki dalam suatu masyarakat yang ter-transformasi masih secara mendasar berbeda satu sama lain. Perpecahan itu berakar pada ketidaksetujuan atas makna sosial dan politis hakikat biologis kita sebagai perempuan dan laki-laki. Hal ini bukan suatu persoalan teoritis sederhana di mana kita sepakat untuk berbeda. Pertanyaan apakah perempuan dan laki-laki secara mendasar saling berbeda hakikatnya menimbulkan masalah praktis bagaimana hubungan antara perempuan dan laki-laki dapat diubah. Meskipun kalangan reduksionis biologis secara mendalam mengeritik kalangan feminisme, namun persoalan perbedaan biologis terus ditolak.

Persoalan titik-pijakan

Kalangan feminis politis akan mengalami hambatan oleh keterbatasan pengalaman perempuan dan ideologi patriarkhis, dan oleh sikap perempuan yang penuh perhatian dan perasaan bersalah di mana mereka hidup di dalamnya. Perempuan dengan berbagai perbedaan pengalamannya tidak akan memberikan keseluruhan aspek transformasi prioritas kesetaraan, sehingga mustahil mengatasi secara sempurna keterbatasan titik-pijakan klas dan rasnya. Manakala titik-pijakan kita sungguh membatasi visi kebebasan kita, maka hal itu tidak berarti bahwa kita tidak memiliki visi yang berguna.

Konsekuensi membangun aliansi antar perempuan, bagaimanapun, adalah menghadapi penindasan di berbagai front, artinya perjuangan menentang perempuan, misalnya melawan sayap-kanan perempuan barat yang bersekutu dengan laki-laki, yang mencoba mendorong perempuan kembali ke keluarga dan terpinggirkan dari kehidupan publik, kecuali sebagai tenaga kerja murah. Juga menentang fundamentalisme Islam dan lainnya yang telah merumuskan versi kebebasan dalam rangka melayani laki-laki dan tuhan. Kalangan feminis yang telah merumuskan tujuan politiknya bagi perempuan telah menempatkan dirinya dengan mengatakan kepada mereka apa yang tak ingin mereka dengar, dan melontarkan penghakiman atas rumusan pengalaman dan kebutuhan perempuan.

Sebagai alternatif, membiarkan perempuan merumuskan tujuan politiknya terlepas dari titik-pijakan mereka, sudah tentu, meremehkan hal umum politik feminis. Apabila berbagai kelompok perempuan yang berbeda merumuskan versi kebebasan mereka tanpa mengacu satu sama lain, maka tidak ada evaluasi feminis terhadap ketidaklengkapan visi kebebasan yang bisa dilakukan.

Kalangan feminis menekankan pentingnya budaya bisu perempuan untuk mengungkapkan pengalamannya di mana budaya patriarkhi mengabaikan atau merendahkan mereka. Akan tetapi, perempuan hendaknya menilai pengalaman mereka tanpa menyadari dari mana gagasan-gagasan yang mereka yakini dan nilai itu berasal. Menyerap istilah Gramsci, laki-laki mendominasi perempuan karena memimpin dan mendominasi. Kehendak perempuan untuk menikahi laki-laki, tentu saja wajar dilakukan, dan pada titik tertentu mencapai kesepakatan di dalam perkawinan. Mereka dapat meraih kepuasan sebagai ibu, yang menentukan kendali atas anak-anaknya dan ekonomi rumah tangga serta posisi pasti di tengah masyarakat sebagai perempuan menikah.

Patriarkhi, dengan demikian, tidak selalu menjadi keseluruhan pengalaman yang buruk bagi perempuan. Hal ini dipandang menjadi buruk bagi perempuan ketika hubungan kuasa antara laki-laki dan perempuan nyata mendominasi, yaitu ketika perempuan berhadapan secara kritis dengan patriarkhi dengan berdiri di belakang laki-laki dan hanya melihat keseluruhan sistem bekerja dan untuk kepentingan siapa. Itu terlihat ketika perempuan berpikir secara menyeluruh dan kritis mengenai organisasi masyarakat, yang memperlihatkan mereka bagaimana patriarkhi menghambat kehidupannya dan memecahbelah satu sama lain, dan mereka bisa memilih untuk melawannya. Pemahaman kritis memang sulit dikembangkan secara kolektif ketika perempuan secara personal sukses di dalam kehidupan publik, atau manakala perempuan disingkirkan dari kehidupan publikd dan hanya memiliki sedikit nilai sebagai isteri dan ibu.

Hampir sebagian besar perempuan tidak menyadari atau mau melawan ideologi patriarkhi, meskipun mereka mengorganisir isu-isu tertentu untuk kepentingan mereka. Perlawanan demistifikasi ideologi patriarkhi bagi feminis adalah, dengan demikian, mirip dalam beberapa situasi. Pertama, perlawanan dapat diatasi di mana keuntungan yang jelas bahwa perempuan menarik diri dari dominasi laki-laki, yang dianggap keluar dari cara pandang mereka yang tak menguntungkan. Dalam kasus ini, di mana ibu-ibu rumah tangga memiliki pendapatan sendiri, mobil, waktu, dan sumberdaya yang mendukung kegiatan-kegiatan dalam waktu luang dan kenikmatan serta mengendalikan waktu, atau meningkatkan karir mereka. Di sisi lain skala tujuan masyarakat, perempuan tidak bersedia mengeritik gagasan-gagasan patriarkhi dan mengatur di mana laki-laki secara sosial dan ekonomis diuntungkan, yang membuat perempuan sedikit merasakan lebih buruk daripada laki-laki. Perlawanan terhadap demistifikasi ideologi patriarkhis oleh kalangan feminis juga berkait di mana feminisme tampaknya sebagai budaya dominan menghalangi tradisi dan adat-istiadat kelompok-kelompok yang disubordinasi. Hal ini menjadi dasar begitu banyak perlawanan di dunia ketiga terhadap feminisme barat sebagai bentuk budaya kolonial yang menindas.

Titik-pijak dari mana kalangan feminis menatap masa depan, kemudian, tidak mudah untuk diangkat bersama. Ini sangat bergantung pada seberapa jauh mereka membangun kesadaran kritis kepentingan-kepentingan politisnya. Beberapa isu yang mereka lontarkan mungkin urgen, mungkin yang lainnya menjadi prioritas berikutnya, beberapa lainnya menentang hambatan klas atau kepentingan rasial, hambatan agama, atau budaya. Dari beberapa kasus perjuangan tersebut memang membutuhkan dukungan kaum lelaki untuk melawannya. Tentu saja, feminisme harus mengkhususkan wilayah yang sangat umum persoalan transformasi, yang tanpa itu perempuan tak dapat terbebaskan.

Hambatan mengenai transformasi penting untuk dipahami dalam rangka pembebasan perempuan yang hendak dirumuskan. Hambatan ini terbentuk, pertama-tama, oleh tujuan umum pembebasan yang tersirat di dalam feminisme, yakni dengan pengertian bahwa perempuan potensial hidup secara seksual, produktif, dan mereproduksi makhluk hidup tanpa mesti ditindas oleh kaum lelaki. Kedua, memberikan pengertian umum tentang pembebasan ini, bahwa hambatan dibentuk oleh keterkaitan di dalam masyarakat yang nyata antara sistem seks dan gender, produksi, dan reproduksi, melalui mana masyarakat mengembangkan hubungan-hubungan seksual, sosial, ekonomis dan politiknya. (HG)

No comments: